Senin, 04 Juli 2016

Pengantar Filsafat




PENGANTAR FILSAFAT

OLEH:
Ev. DR Jonsa Manullang, M.Th., M.Pd.K



SEKOLAH TINGGI TEOLOGI GALILEA
2015
Pengertian dan Definisi Filsafat
Secara etimologi, istilah “filsafat” yang merupakan padanan kata  falsafah (bahasa Arab) dan philosophy (bahasa Inggris), berasal dari bahasa Yunani  filosofia  (philosophia).  Kata philosiphia merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata filos (philos) dan sofia (Sophia).  Kata filos berararti kekasih, bisa juga berarti sahabat.  Adapun sofia berarti kebijaksanaan atau kearifan, bis juga berarti pengetahuan.  Jadi sevara harfiah folosofia berarti yang mencintai kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan.  Oleh karena istilah filosofia telah d Indonesiakan menjadi “filsafat”, seyogianya ajektivanya ialah “filsafati” dan bukan “filosofis”.  Apabila menace kepada orangnya, kata yang tepat digunakan ialah ‘filsuf” dan bukan “filosof”.  Kecuali bila digunakan kata “filosofi” dan bukan filsafat, maka ajektivanya yang tepat ialah “filosofis”, sedangkan yang mengacu kepada orangnya ialah kata “filosof”.
            Menurut tradisi kuno, istilah filosofia digunakan pertama kali oleh Phytagoras (sekitar abad ke-5 SM).  Ketika diajukan pertanyaan apakah ia seorangb yang bijaksana, dengan rendah hati Pythagoras menjawab bahwa ia hanyalaah filosofos, yakni orang yang mencintai pengetahuan.  Akan tetapi kebenaran kisah itu sangat diragukan karena pribadi dan kegiatan Pythagoras telah bercampur dengan berbagai legenda; bahkan, tahun kelahiran dan kematiannya pun tak diketahui dengan pasti.  Yang jelas, pada Sokrates dan Plato, istilah filosofia dan filosofos sudah cukup popular.
            Untuk memahami apa sebenarnya filsafat itu, tentu saja tidak cukup hanya mengetahui asal usul dan arti istilah yang digunakan, melainkan juga harus memperhatikan konsep dan definisi yang diberikan oleh para filsuf menurut pemahaman mereka masing-masing.  Akan tetapi, perlu pula dikatakan bahwa konsep dan definisi yang diberikan para filsufitu tidak sama, bahkan dapat dikatakan bahwa setiap filsuf memiliki konsep dan membuat definisi yang berbeda dengan filsuf lainnya.  Karena itu, ada yang mengatakan baha jumlah konsep dan definisi filsafat adalah sebanyak jumlah filsuf itu sendiri.
Berikut ini, akan diketengahkan beberapa konsep dan definisi yan kira-kiramemadai untuk memberi gambaran lebih jelas tentang apakah filsafat itu.
            Para filsuf pra-Sokratik mempertanyakan tentang arkhe yakni awal atau asal mula alam dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos, logos atau rasio tanpa meminta bantuan mitos, mythos atau mitos.  Oleh sebab itu, bagi mereka, filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas ada dengan mengandalkan akal budi.
            Plato memiliki berbagai gagasan tentang filsafat, antaralain Plato pernah mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni.  Selain itu, ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-musabab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
            Aristoteles (murid Plato) juga memiliki beberapa gagasan mengenai filsafat.  Antara lain, ia mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas yang ada.  Menurutnya filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupayamempelajari “peri ada selaku peri ada” (being as being) atau “peri ada sebagaimana adanya” (such as such).
            Rene Descartes, filsuf Prancis yang termashyur dengan argument je pense, donc je suis, atau dalam bahasa Latin cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), yang megatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.
            Bagi William James, flsuf Amerika yang terkenal sebagai tokoh pragmatism dan pluralism, filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang.  R.F. Beerling, yang menjadi guru besar filsafat di Universitas Indonesia, dalam bukunya Filsafat Dewasa Ini mengatakan bahwa filsafat “mmemajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, prinsip dari kenyataan.  Beerling juga mengatakan bahwa filsafat adalah suatu usaha untuk mencapai radix, atau akar kenyataan dunia wujud, juga akar pengetahuan tentang diri sendiri.
            Konsep atau gagasan dan definisi filsafat yang begitu banyak tidak perlu membingnungkan, bahkan sebaliknya justru menunjukkan betapa luasnya samudera filsafat itu sehingga tidak terbatasi oleh sejmlah batasan yang akan mempersempit ruang gerak filsafat.  Perbedaan-perbnedaan itu sendiri merupakan suatu keharsan bagi filsafat sebab kesamaan dan kesatuan pemikiran serta pandangan justru akan mmatikan dan menguburkan filsafat untuk selama-lamanya.


KEGUNAAN FILSAFAT

Bagi  ilmu  pengetahuan
Tatkalala filsafat  lahir  dan  mulai tumbuh,  ilmu  pengetahuan  masih  merupakan  bagian  yang tak  terpisahkan  dari  filsafat. Pada  masa  itu,  para  pemikir  yang  terkenal   sebagai  filsuf  adalah  juga  ilmuan.  Para  filsuf  pada  masa  itu  adalah  juga  ahli – ahli  matematika,astronomi, ilmu bumi,  dan  sebagai  ilmu   pengetahuan  lainnya.bgi  mereka  ilmu  pengetahuan  itu  adalah  fisafat,  dan  filsafat  adalah  ilmu  pengetahuan yang berjasa  bagi  kehidupan  manusia. 
 Cara  berpikir  filsafati  telah   mendobrak  pintu  serta  tembok –tembok  tradisi  dan  kebiasaan,  bahkan  telah  menguak  mitos  dan mite  serta  telah  meninggalkan  cara  berpikir  mistis.  Lalu  pada  saat  yang  sama  telah  berhasil  meninggalkan  cara  berpikir  mitis.  Lalu  pada  saat yang  sama  telah  mengembangkan  cara  sistematis,logis, kritis dan analitis.  Karena itu,ilmu  pengetahuanpun  semakin  bertumbuh  subur, terus  berkembang,  dan  menjadi  dewasa.
kemudian,  ilmu  pengatahuan  yang  telah  mencapai  tingkat  kedewasaan  penuh  satu  demi satu  mulai  mandiri  dan mulai  meninggalkan  filsafat  disebut  sebagai  mater  scientarum  atau  induk  segala  pengatahuan.  Itu  merupakan  fakta  yang  tidak  dapat  diingkari,  yang  dengan  jelas  menunjukan  bahwa  ia  telah  benar- benar  menunjukan  kegunaannya  lewat  melahirkan,merawat,  dan  mendewasakan  berbagai  ilmu  pengetahuan. 
Ilmu  pengetahuan  dikatakan begitu  berjasa  bagi  kehidupan  umat  manusia  lewat  ilmu  pengetahuan  umat  manusia  telah  dimungkinkan  menghasilkan  yang  sangat  menabjukan  dalam  segala  bidang  kehidupan.  Teknologi  canggih  yang  semakin  mencengangkan  dan  fantasis  merupakan  salah  satu  produk  dari  ilmu  pengetahuan.  Abad – abad  terakhir  ini,  dalam  peradaban  dan  budaya  barat,  ilmu  pengatahuan  telah  berperan  sedemikian  rupa  sehingga  telah  menjadi   tumpuan  banyak  harapan  orang.
Memang   harus  diakui betapa  pesatnya  perkermbangan  ilmu  pengetahuan  sehingga  manusia  mulai  percaya  bahwa  ilmu  pengatahuan  benar – benar  mahakuasa oleh  berbagai  penemuan  yang  menggemparkannya  dan  tampilnya   teori – teori  serta  metode -  metode  baru  yang  lebih  banyak.  Manusia  semakin  terpukau  oleh  pesona  ilmu  pengetahuan,  dan  hal  itu  telah  membuat  banyak  orang  mendewakan  ilmu  pengetahuan.  Bagi  mereka,  ilmu  pengetahuan  adalah  segala – galanya.  Mereka  berupaya  juga  untuk  meyakinkan  semua  orang  bahwa  ilmu  pengetahuan  dapat  menyelesaikan  segala  persoalan. Anggapan  itu  dikukuhkan   kegunaan  ketepatannya  sehingga  semakin  mengembangkan  suatu  optimisme   yang  hampir  tak  terbatas.
Kemajuan  ilmu  pengetahuan yang  amat  mempesonakan  itu  telah  membuat  banyak  orang  yang  telah  menjadi  sinis  terhadap  filsafat. Banyak  orang  yang  menganggap  filsafat  sbagai  benda  antic  yang  layak  dipajang  dalam  museum. Filsafat  terlampau “ tua”untuk  mengandung”dan  melahirkan” suatu  ilmu  pengatahuan  baru.  Filsafat  tak  dapat  menghasilkan  apapun  juga,  sehinga  sama  sekali  tidak  berguna  lagi.
Benarkah  ilmu  pengetahuan telah  sanggup  merengkuh  langit   dan  menguasai  alam  semesta?  Ternyata  itu  hanya  suatu  impian  yang  harus  dilepaskan  tatkala  menghadapi  kenyataan  sesungguhnya.  Fakta  menunjukan  bahwa  hasil – hasil  yang  dapat  dipengaruhi  oleh ilmu  pendidikan  bersifat  sementara,  maka  senantiasa  membutuhkan  perbaikan  dan  penyempurnaan. Senantiasa,  ada  batas  yang  membatasi  ilmu  pengetahuan.  Jadi   ilmu  pengetahuan  senantiasa  dibatasi  oleh  bidang  penelitian  yang  sesuai  dengan  kekhususannya,  ilmu  pengetahuan  hanya  sanggup meneliti  bagian -  bagian  kecil,  (sesuai  bidangnya)  dari  seluruh  realitas.
Disamping  itu,  ilmu  pengetahuan  tidak  mempersoalkan  asas  dan  hakikat  realitas.  Pada  umumnya  pengetahuan  teristimewa  yang  diketengahkan  oleh  positivism  cendrung  lebih  bersifat  kuantitatif.  Karena  itu,  pengetahuan  tidak  sanggup  menguji  kebenaran  prinsip – prinsip  yang  menjadi  landasan  ilmu  pengetahun  itu  sendiri.
Ilmu  pengetahuan  membutuhkan  bantuan  dari  sesuatu  yang  bersifat   tak  terbatas  yang  sanggup  menguji  kebenaran  prinsip – prinsip  yang melandasi  ilmu  pengatahuan.  Hal  itu  hanya  dapat  dilakukan  oleh  filsafat,  sang  induk  segala  pengetahuan.  Filsafat  adalah  ilmu  yang  tak  terbatas  karena  tidak  hanya  manusia  menyelidiki  suatu  bidang  tertentu  dari  suatu  realitas  yang  tertentu  saja.  Filsafat  senantiasa  mengajukan  pertanyaan  tentang  kenyataan  yang  ada.
      Filsafatpun  selalu  mempersoalkan  hakikat, prinsip,  dan  azas  mengenai  seluruh  realitas  yang  ada,  bahkan  apa  saja  yang  dapat  dipertanyakan,  termasuk  filsafat  itu  sendiri.
Keterbatasan  filsafat  yang demikian  itulah   yang  amat  berguna  bagi  ilmu  pengetahuan.  Yaitu  filsafat  sanggup  memeriksa, mengevaluasi, mengoreksi,  dan  lebih  menggunakan  prinsip – prinsip  dan  asas – asas  yang  melandasi  ilmu  pengetahuan  itu.
DALAM  KEHIDUPAN  PRAKTIS
Filsafat  memang  abstrak,  namun  tidak  berarti  filsafat  tidak  mempunyai  hubungan  apapun dengan  kehidupan  sehari – hari  yang  konkkret  yang  bukan  berarti  fisafat  tidak  mempunyai  hubungan  apapun juga  dengan  kehidupan  nyata  setiap  hari.
Kendati  tidak  mempuyai  petunjuk  praktis  tentang  bagaimana  bangunan  yang  artistic  dan  elok,  filsafat  sanggup  membantu  manusia    dengan  memberi   pemahaman  kepada  manusia    tentang  apa  itu  artistic  dan  elok, dalam  kearsitektural  sehingga  nilai  keindahan  yang  diperoleh  lewat  pemahaman  itu  akan  menjadi  patokan  utama  bagi  pelaksanaan   pekerjaan  pembangunan  tersebut.
Fisafat  mengirin  manusia  ke  pengertian  yang  terang  dan  pemahaman  yang  jelas.  Kemudian,    filsafat  itu  juga  menuntun  manusia    ke  tindakan  dan  perbuatan   yang  konkret  berdasarkan  pengertian  yang  terang  dan  pemahaman  yang  jelas.

PEMBAGIAN FILSAFAT
            Seperti telah dikemukaan sebelumnya, pada tahap awal kelahiran filsafat yang disebut filsafat itu sesungguhnya mencakup seluruh ilmu pengetahuan. Kemudian, filsafat itu berkembang sedemikian rupa menjadi semakin rasional dan semakin sistematis. Seiring dengan perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga semakin mengkhusus. Lalu lahirlah berbagai disipilin ilmu pengetahuan yang satu per satu mulai memisahkan diri dari filsafat. Kendati berbagai disiplin ilmu telah memisahkan diri dari filsafat, tidak berarti filsafat telah menjadi begitu miskin sehingga tinggal terarah kepada satu permasalahan pokok, dengan wilayah pengetahuan yang semakin sempit dan pada suatu saat akan lenyap sama sekali.
            Kenyatannya, masalah-masalah pokok yang dihadapi filsafat tak pernah berkurang. Karena banyanyaknya masalah pokok yang harus dibahas dan di pecahkan, filsafat pun dibagi kedlam bidang-bidang studi yang sesuai dengan klompok permasalahan pokok yang dihadapinya. Bidang-bidang studi filsafat juga disebut sebagai cabang-cabang filsafat.
            Pembagian bidang-bidang studi atau cabang-cabang filsafat, sejak kelahiranya hingga pada masa kini, tak pernah sama kendati itu tidak berarti sama sekali berbeda. Jika disimak dengan cermat, sesungguhnya isi setiap cabang filsafat itu senangtiasa memiliki kesamaan satu sama lain.
Aristoteles membagi filsafat kedalam tiga bidang studi sebagai berikut:
a.       Filsafat spekulatif/teoritis
b.      Filsafat praktika
c.       Fisafat produktif
1.      Filsafat spekulatif atau teoritis. Filsafat spekulatif atau teoritis bersifat objektif. Termasuk dalam bidang ini ialah fisika metafisika, biopsikologi, dan sebagainya. Tujuan utama fisafat spekulatif ialah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
2.      Filsafat pratika. Filsafat pratika memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya. Termasuk dalam bidang ini ialah etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat pratika ialah membentuk sikap dan perilaku yang memampukan manusia untuk bertindak dalam terang pengetahuan itu.
3.      Filsafat produktif. Filsafat produktif ialah pengetahuan yang membimbing dan menuntun manusia menjadi produktif  lewat suatu ketrampilan khusus. Termasuk dalam bidang ini kritik sastra,retorika, dan estetika. Adapun sasaran utama yang hendak dicapai lewat filsafat ini ialah agar manusia sanggup menghasilkan sesuatu baik secara teknis maupun secara puitis dalam terang pengetahuan yang benar.
Logika yang oleh Aristoteles disebut analitika ( untuk meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar) dan dialetika (untuk meneliti argumentasi yang diragukan kebenaranya) tidak dimasukan kedalam salah satu bidang tersebut. Ini karena menurut aristoteles analetika dan dialetika adalah metode dasar bagi pengembangan ketiga bidang filsafat tersebut.
Christian Wolff (1679-1754), seorang filsuf rasionalis Jerman pengikut Leibniz, membagi filsafat ke dalam cabang-cabang sebagai  berikut:
·         Logika
·         Ontology
·         Kosmologi
·         Psikologi
·         Teologi Naturalis
·         Etika

Will Durant, dalam bukunya yang berjudul The Story of Philosophy yang diterbitkan sejak tahun 1926, mengemukakan lima bidang studi filsafat sebagai berikut:
1.      Logika
2.      Estetika
3.      Etika
4.      Politika
5.      Metafisika

a.       Logika. Logika adalah studi tentang metode berpikir dan dan metode penelitian ideal, yang terdiri dari observasi, introspeksi, dedukasi, dan idukasi, hipotesis dan eksperimen, analisis dan sintesis, dan sebagainya.
b.      Estetika. Estetika adalah studi tentang bentuk ideal dan keindahan. Estetika disebut juga sebagai fisafat seni (philosophy of art )
c.       Etika. Etika adalah studi tentang prilaku ideal
d.      Polititika. Politika adalah studi tentang organisasi social yang ideal, yitu tentang monarki, aristokrasi, demokrasi, sosialisme, anarkisme, dan sebagainya
e.       Metafisika. Metafisika terdiri dari ontology, dan epistemology

Para penulis ENSIE (Eerste Nederlandse Systematich Ingrerichte Encyclopaedie) membagi filsafat kedalam sepuluh cabang sebagai berikut:
·         Metafisika
·         Logika
·         Epistemology
·         Filsafat ilmu
·         Filsafat naturalis
·         Filsafat cultural
·         Filsafat sejarah
·         Estetika
·         Etika
·         Filsafat manusia

The World University Encyclopedia membagi filsafat kedalam cabang-cabang sebagai berikut:
a.       Sejarah filsafat
b.      Metafisika
c.       Epistemology
d.      Logika
e.       Etika
f.       Estetika
Masih banyak pembagian lain yang ditawarkan oleh para filsuf. Akan tetapi, saat ini pada umumnya filsafat dibagi kedalam enam bidang studi atau cabang utama sebagai berikut:
1.      Epistemology
2.      Metafisika
a.       Ontology
b.      Kosmologi
c.       Teologi metafisika
d.      Antropologi
3.      Logika
4.      Etika
5.      Estetika
6.      Filsafat tentang berbagai disiplin ilmu
Keenam cabang filsafat itulah yang akan dibicarakan berikut ini.

EPISTEMOLOGI
            Epistemology adalah cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Etimologis, istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu -episteme (pengetahuan) dan -logos (kata,pikiran,percakapan atau ilmu). Jadi, epistemology berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan.
            Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan dalam epistemology ialah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan pengetahuan; serta validitas dan reliabilitas (reability) dari berbagai kalim dari pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyanaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemology adalah sebagai berikut: Apakah pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan? Berikut ini akan dipaparkan secara ringkas beberapa pokok persoalan yang dipersoalkan di dalam epistemology.
Tentang pengetahuan
            Jika dikatakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu. Dengan demikian, pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Apa bila si Paimun yang baru pulang dari Tokyo menceritakan bahwa Tokyo itu kota yang sangat besar, jalan rayanya lebar-lebar, hamper semua bangunannya bertingkat, warga kotanya ramah, dan sebagainya, maka semua yang dituturkannya itu adalah pengetahuannya tentang Tokyo. Kita mengetahui bahwa satu ditambah satu adalah dua , sepuluh kali sepuluh adalah seratus,. Kita juga mengetahui ada bermacam-macam warna: merah, putih hitam dan sebagainya. Kita juga mengetahui bahwa rumah, meja, sungai, lut, gunung, dan manusia adalah bagian dari lingkungan hidup kita.semua yang kita ketahui tentang sesuatu itu adalah pengetahuan.
            Pengetahuan senantiasa memiliki subjek, yakni yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada pengetahuan. Jika ada subjek, pasti pula ada objek yakni sesuatu yang ihwalnyan kita ketahui atau hendak kita ketahui. Tanpa objek tidak mungkin ada pengetahuan.
            Pengetahuan bertautan erat dengan kebenaran karena demi mencapai kebenaranlah pengetahuan itu eksis. Kebenaran ialah kesesuaian pengetahuan dengan objeknya. Ketidak sesuaiaan pengetahuan dengan objeknya disebut kekeliruan. Suatu objek yang ingin diketahui senantiasa memiliki begitu banyak aspek yang sangat sulit diungkapkan secara serentak. Kenyataannya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu objek itu, sedangkan yang lainya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas, bahwa amat sulit untuk mencapai kebenaran yang lengkap dari objek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan objek pengetahuan.
            Pengetahuan dapat dibagi ke dalam tiga jenis sebagai berikut:
1.      Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan nir-ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasil pencerapan dengan indra terhadap objek tentu yang di jumpai dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk pula pengetahuan intuitif. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil pencerapan indrawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
2.      Pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Pengetahuan yang demikian dikenal juga dengan sebutan science.
3.      Pengetahuan filsafati (philosophical knowledge). Pengetahuan filsafati diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaiaan kritis, dan pemikiran-pemikiran yang logis, analitis, dan sistematis. Pengetahuan filsafati adalah pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat, prinsip, dan asas dari seluruh realitas yang dipersoalkan selaku objek yang hendak diketahui.

Sumber-sumber pengetahuan
            Apakah yang sebenarnya menjadi sumber pengetahuan? Para filsuf memberi jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaan itu. Plato, Descartes, Spinoza, dan Leibinz mengatakan bahwa akal budi atau rasio adalah sumber utama bagi pengetahuan, bahkan ada yang secara ekstrem menekankan bahwa akal budi adalah satu-satunya sumber bagi pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan akal budi tidak mungkin benar. Bagi mereka pemikiran memiliki fungsi yang amat penting dalam proses mengetahui.
            Beberapa filsuf lainnya, seperti Bacon, Hobbes, dan Locke, menyatakan bahwa bukan akal budi, melainkan pengalaman indrawilah yang menjadi sumber utama bagi pengetahuan. Kendati memang ada perbedaan pandangan di antara mereka sendiri, mereka semua sependapat bahwa pada dasarnya pengetahuan bergantung pada panca indra manusia serta pada pengalaman-pengalaman indranya, dan bukan pada rasio. Mereka juga mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman. Tidak ad ide atau konsep yang di dalam dirinya sendiri bersifat apriori, mereka mengatakan bahwa semua konsep dan ide itu sesungguhnya aposteriori. Jika benar bahwa seluruh ide dan konsep manusia bergantung pada pengalaman, maka sesungguhnya seluruh pengetahuan manusia itu bersifat aposteriori. Akan tetapi para filsuf itu mengakui juga bahwa tidak semua pengetahuan manusia secara langsung bergantung pada pengalaman, melainkan apabila ditelusuri lebih lanjut, pada akhirnya akan terlihat bahwa pengetahuan sesungguhnya berasal dari pengalaman.
            Immanuel Kant, yang filsafatnya tidak sealiran dengan John Locke, juga berpendapat bahwa kendati seluruh ide dan konsep manusia bersifat aprioribsehingga ada kebenaran apriori, ide dan konsep itu hanya dapat diaplikasikan apabila ada pengalaman. Tanpa pengalaman seluruh ide dan konsep serta kebenaran apriori tidak akan pernah dapat diaplikasikan. Dengan kata lain Kant hendak mengatakan bahwa akal budi manusia hanya dapat berfungsi sebagaimana mestinya apabila dihubungkan dengan pengalaman. Dengan demikian, Kant memperdamaikan kedua pandangan tersebut yang selama itu senantiasa saling bertentangan.
Adakah pengetahuan yang benar dan pasti?
            Apakah mungkin ada pengetahuan yang benar dan pasti? Apakah pengetahuan itu dapat dipercaya? Apakah manusia benar-benar dapat mengetahui dan dengan demikian dapat memiliki pengetahuan yang dapat dipercaya? Telah banyak filsuf yang berupaya untuk menjawab pertanyaan-pertayaan tersebut.
            Para penganut skeptisisme pada umumnya sependapat bahwa segala sesuatu, termasuk yang dianggap “sudah pasti”, dapat disangsikan kebenarannya. Untuk membenarkan diri, secara ekstrem mereka berpegang pada ungkapan Sokrates yang mengatakan bahwa apa yang saya ketahui ialah bahwa saya tidak mengetahui apa-apa (all that I know is that I know nothing). Dengan demikian, mereka hendak menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada pengetahuan yang pasti dan mutlak.
            Pyrrho (365-275 SM) yang dikenal sebagai pencipta skeptisisme sistematis pertama ( yang tak pernah menulis apa pun) dan Timon dari Phlius (320-230 SM) murid Pyrrho, serta Sextus Empiricus (abad 2 M), penulis Outlines of pyrrhonism, menyatakan bahwa kita harus senantiasa menyaksikan segala sesuatu yang dianggap benar  karena sesungguhnya tidak ada yang benar-benar dapat diketahui dengan pasti. Penggalaman menunjukkan bahwa banyak pandangan yang sering kali saling bertentangan, tetapi tidak pernah dapat ditentukan yang mana benar dan yang mana salah karena tidak ada kriteria yang dapat digunakan untuk itu
            Jhon Wilkins (1614-1672) dan Joseph Glanvil (1636-1680), yang keduanya adalah anggota awal dari the Royal Society, the British Scientific Organization, membedakan antara pengetahuan tertentu yang sempurna (infallibly certain knowledge) dan pengetahuan tertentu yang sudah pasti (indubitably certain knowledge). Mereka berpendapat bahwa tidak ada seorang pun manusia dapat meraih pengetahuan  yang sempurna karena kemampuan manusia telah cacat dan rusak. Adapun pengetahuan tertentu yang telah pasti, misalnya matahari terbit dari timur setiap hari, api menghanguskan, terkena air basah, dan sebagainya, merupakan pengetahuan yang tidak perlu diragukan lagi.
            David Hume (1711-1776) menyerang dasar-dasar pengetahuan empiris.ia mengatakan bahwa tidak ada suatu generalisasi pengalaman yang dapat dibenarkan secara rasional. Demikian pula, proposisi mengenai pengalaman tidak perlu, karena seseorang dengan mudah tidak akan dapat membayangkan suatu dunia dimana proposisi itu keliru. Sebagai contoh, “ matahari akan terbit besok pagi” adalah sebuah generalisasi dari pengalaman atau realitas. Akan tetapi hal itu sebenarnya tidak perlu karena kita dapat membayangkan suatu dunia yang mirip dunia kita yang mataharinya tidak terbit besok pagi. Bagi Hume, generalisasi induktif sama sekali bukan suatu proses berpikir, melainkan hanya sekedar mengharap hal yang sama akan terulang kembali dalam kondisi dan situasi yang sama.
            Albert Camus (1913-1960) melukiskan manusia yang berupaya mengukur sifat dan menakar makna dari sesuatu yang pada hakekatnya tak bermakna dan alam yang absurd dalam bukunya Myth of Sisyphus. Manusia Sisyphus mengenal betul seluruh keberadaannya dalam kondisi yang begitu buruk dan amat menyedihkan. Ia tidak berharap untuk meraih kebenaran dan juga tidak pernah mengantisipasi akhir dari segala permulaannya. Bagi Camus, sesungguhnya tidak ada makna, tidak ada pengetahuan yang benar secara objektif, dan juga tidak ada nilai objektif.
            Pandangan-pandangan para pemikir yang menyangsikan segala sesuatu, termasuk yang dianggap oleh seseorang sebagai yang sudah pasti kebenaranya, sejak semula disanggah oleh pemikir-pemikir lainya. Sebagai contoh adalah Agustinus dan Thomas Reid ( penyanggah David Hume).
            Augustinus (354-430) mengatakan bahwa “ manusia tidak dapat mengetahui apa-apa “ menunjukkan bahwa ungkapan itu sendiri sudah merupakan suatu pengetahuan. Oleh sebab itu, bagi Agustinus, pendapat para filsuf yang demikian itu secara rasional tidak konsisten. Selanjutnya, Agustinus mengatakan bahwa jika ungkapan “ manusia tidak mengetahui apa-apa”
Itu keliru atau salah, berarti tidak ada masalah. Apabila ungkapan itu benar, berarti ungkapan itu mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri (self-contradictory) karena bagai mana pun juga sekurang-kurangnya kita mengetahui dengan pasti tentang satu hal, yakni kita tahu bahwa kita tidak dapat mengetahui apa-apa.
            Thomas Reid (1710-1796), yang hidup sezaman dengan David Hume, kendati memahami dan menghargai argument-argumen Berkeley dan Hume, menganggap bahwa konklusi Hume keliru. Reid menyanggah presuposisi sentral Hume yang mengatakan bahwa kepercayaan-kepercayaan kita yang sangat mendasar haruslah dibenarkan oleh argument-argumen rasional filsafati. Reid mengatakan bahwa bukti-bukti rasional-filsafati yang dikehendaki Hume itu sesunguhnya tidak pantas dan tidak tepat. Ini karena argument-argumen rasional-filsafati itu sendiri akan terus-menerus memerlukan argument-argumen filsafati sampai tak terbatas (ad infinitum). Reid mengatakan pula bahwa kepercayaan-kepercayaan yang sangat mendasar itu tidaklah dilandaskan pada pra-anggapan yang membuta begitu saja, melainkan justru mencerminkan konstisusi rasionalitas kita, yang sanggup juga mengenal lewat intiusi. Kepercayaan-kepercayaan yang sangat mendasar itu menjadi landasan bagi seluruh pembuktian-pembuktian lain kendati dirinya sendiri tidak terbuktikan.
Kesahihan pengetahuan
             Di dalam epistemology, ada beberapa teori kesahihan pengetahuan, antara lain teori kesahihan koherensi, teori kesahihan korespondensi, teori kesahihan pragmatis, teori kesahihan semantic, dan teori kesahihan logical yang berlebih-lebihan.
            Teori kesahihan koherensi (coherence theory of truth) menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan) diakui sahih jika proposisi itu memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika.
            Teori kesahihan korespondensi/saling bersesuaian (correspondence theory of truth) mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih apabila proposisi bersesuaian dengan realitas yang menjadi objek pengetahuan itu. Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi. Dengan demikian, kesahihan pengetahuan itu dapat dibuktikan secara langsung.
            Teori kesahihan pragmatis (pragmatical theory of truth) menegaskan bahwa pengetahuan itu sahih jikalau proposisinya memiliki konsekuensi-konsekuensi kegunaan atau benar-benar bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan itu. Teori kasahihan pragmatis adalah teori kesahihan yang telah dikenal secara tradisional.
            Teori kesahian semantik (semantic theory of truth) adalah teori yang menekankan arti dan makna suatu proposisi. Bagi teori kesahihan semantic, proposisi harus menunjukkan arti dan makna sesungguhnya yang mengacu kepada referen atau realitas dan bias juga arti definitive dengan menunjuk cirri khas yang ada.
            Teori kesahihan logical yang berlebih-lebihan (logical Superfluity theory of truth) hendak menunjukkan bahwa proposisi logis yang memiliki trem berbeda tetapi berisi informasi sama tak perlu dibuktikan lagi, atau ia telah menjadi suatu bentuk logic yang berlebih-lebihan. Contoh: siklus adalah lingkaran atau lingkaran adalah bulatan dan sebagainya. Dengan demikian, proposisi lingkaran itu bulat tak perlu dibuktikan lagi kebenarannya.
           

LOGIKA

    Istilah logika pertama kali pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium (334-262 SM), pendiri stoisisme. Logika adalah istilah yang dibentuk dari kata Yunani –Logikos yang berasal dari kata benda-logos.Kata logos berarti sesuatu yang diutarakan,suatu pertimbangan akal(pikiran), kata, percakapan,dan bahasa.Logikos berarti mengenai sesuatu yang diutarakan,mengenai suatu pertimbangan akal (pikiran), mengenai kata, mengenai perkataan,atau yang berkenan dengan bahasa. Dengan demikian,secara etimologis, logika berarti suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa .Sebagai ilmu, logika disebut juga logike episteme atau logica secientia yang berarti ilmu logika, namun sekarang ini lazim disebut logika saja.
     Telah banyak definisi logika yang dikemukakan oleh para ahli yang pada umumnya memiliki persamaan, selain juga perbedaan.Dari sekian banyak definisi itu dapatlah dikatakan bahwa logika adalah cabang filsafat yang menyusun,mengembang,dan membahas asas-asas,aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur normatif,serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

   Hukum Dasar Logika
          Ada empat hukum dasar dalam logika yang oleh John Stuart Mill (1806-1873) disebut sebagai postulat-postulat universal semua penalaran (universal postulates of all reasonings) dan oleh Friedrich Uberweg (1826-1871) disebut sebagai aksioma inferensi. Tiga dari keempat hukum dasar itu dirumuskan oleh Aristoteles,sedangkan yang satu lagi ditambahkan Leibniz(1646-1716kemudian oleh Gottfried Wilhelm). Keempat hukum dasar itu adalah
1.Hukum Identitas (Principium Identitatis/Law of Identity) yang menegaskan bahwa sesuatu itu adalah sama dengan dirinya sendiri. Rumusnya:P=P.
2.Hukum Kontradiksi(Principium Contradictionis/Law Of Contradiction) yang menyatakan bahwa sesuatu itu pada waktu yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu. Rumusnya :tidak mungkin P=Q  dan sekaligus P#Q
  1. Konsep dan Term
        Suatu objek,material atau nonmaterial,yang dipahami atau dimengerti,hanya mungkin dipahami atau dimengerti karena akal budi menangkap objek itu sebagaimana objek itu ada. Memahami suatu objek berarti akal budi menangkap objek itu sehingga kendati realitas objek itu tidak ada lagi,akal budi sanggup melahirkannya kembali lewat kata-kata atau bahasa.Pemahaman atau pengertian sebagai hasil”tangkapan”akal budi itulah yang disebut konsep.Jadi,konsep merupakan hasil tangkapan akal budi terhadap suatu objek yang diungkapkan lewat kata-kata.Konsep atau pengertian sering juga disebut verbum mentale,terminus mentalis,ide,dan sebagainya.

        Dalam logika,konsep yang diungkapkan lewat kata atau kata-kata disebut term.Jadi,term adalah wujud konsep.
         Konsep yang dinyatakan melalui term senantiasa memiliki komprehensi atau konotasi dan ekstensi atau denotasi (tanda, petunjuk). Komprehensi/konotasi adalah ciri atau isi yang termuat dalam konsep itu,sedangkan ekstensi/denotasi adalah kuantitas dan luas konsep itu.Hukum yang berlaku bagi hubungan komprehensi dan ekstensi itu ialah
  apabila komprehensi bertambah,ekstensi berkurang,dan apabila komprehensi berkurang,ekstensi bertambah;
  apabila ekstensi bertambah,komprehensi berkurang,dan apabila ekstensi berkurang komprehensi bertambah.
Term selaku wujud konsep dapat dibedakan menjadi berbagai jenis, misalnya term abstrak (kesejahteraan, kebahagiaan) ,term konkret (Plato, kuda, kelapa), term kolektif (karyawan, mahasiswa), term umum (manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan), term singular (Republik Indonesia, Presiden Indonesia yang pertama), dan sebagainya.
     Proposisi
proposisi atau keterangan adalah (statement) dalam bentuk kalimat yang merupakan rangkaian dari term-term yang dapat memiliki nilai benar atau salah.
Tiga bagian terpenting dalam proposisi adalah subjek, predikat,dan kopula. Subjek adalah term pokok dalam proposisi,dan predikat adalah term yang menyebut sesuatu mengenai subjek, sedangkan kopula ialah penghubung antara subjek dan predikat.
Sebenarnya ada berbagai jenis proposisi, namun semuanya dapat disederhanakan menjadi empat jenis dengan lambang A, E, I, dan O.
  1. A adalah proposisi universal afirmatif.
  2. E adalah proposisi universal negatif.
  3. I adalah proposisi partikular afirmatif.
  4. O adalah proposisi partikular negatif.
Contoh-contoh:
  1. Proposisi A: Semua filsuf adalah manusia.
         semua   S (subjek) adalah P (predikat)
         semua   S=P
  1. Proposisi  E: Tak seorang pun filsuf adalah kera.
          semua  S tidaklah P
          semua S # P
  1. Proposisi I: Sebagian manusia adalah  filsuf.
  2. Sebagian S adalah P
  3. Sebagian S = P
  4. Inferensi Langsung
Inferensi adalah suatu proses penarikan konklusi dari sebuah atau lebih proposisi. Ada dua cara  yang biasa ditempuh dalam inferensi, yaitu Inferensi dedukif dan inferensi induktif.

Inversi
    Inversi ialah penalaran langsung dengan cara menegasikan subjek proposisi premis dan menegasikan atau tidak menegasikan predikat proposisi premis.Jika inversi dilakukan dengan  menegasikan baik  subjek maupun  predikat proposisi premis,inversi itu disebut inversi lengkap.Apabila  inversi  dilakukan dengan menegasikan  subjek proposisi premis ,sedangkan predikatnya tidak dinegasikan,inversi itu disebut inversi sebagian.Proposisi premis  disebut invertend  dan proposisi  konklusi disebut inverse.Langkah yang ditempuh  sangat sederhana.
        Untuk meperoleh inversi lengkap,negasikanlah subjek  dan predikat invertend,lalu ubahlah pembimbing subjek dari universal menjadi  partikular.
        Untuk memperoleh inversi sebagian,negasikanlah subjek invertend,sedangkan predikatnya tetap dipertahankan ( tidak berubah ),lalu ubahlah pembilang subjek  dari universal menjadi partikular.
       Karena hanya subjek yang memiliki pembilang universal yang dapat  diinversi,itu berarti hanya proposisi A dan E  yang dapat diinversikan,sedangkan proposisi I dan O tidak dapat diinversikan.

Contoh-contoh :
  1. Inversi proposisi A
      Inversi lengkap
       Invertend : Semua filsuf adalah manusia ( A )
       Inverse : Sebagian bukan-filsuf adalah bukan-manusia. ( I ) Inversi sebagian
        Invertend : Semua filsuf adalah manusia. (A )
        Inverse : Sebagian bukan-filsuf adalah manusia.( I )
       
2.Inversi Proposisi E
Inversi lengkap
Invertend:semua filsuf bukan kera (E)
Inverse: sebagian bukan-filsuf bukan bukan-kera.(O)
Inversi sebagian
Invertend:semua filsuf bukan kera (E)
Inverse:sebagian bukan-filsuf bukan kera (O)
Dari contoh-contoh tersebut,jelas terlihat bahwa inversi proposisi A hasilnya ialah proposisi I,baik untuk inversi lengkap maupun untuk inversi sebagian.Demikian pula proposisi E,jika diinversi akan menjadi proposisi O,baik untuk inversi iengkap maupun untuk inversi sebagian.

Konversi
k
onversi adalah jenis penarikan konklusi secara langsung dengan membalikkan atau mempertukarkan term predikat menjadi term subjek,dan term subjek menjadi term predikat.Kuantitas term subjek dan predikat harus sama dan tetap sama sebelum dan sesudah di konversi:keduanya berdistribusi atau keduanya tidak berdistribusi.
Trem subjek dan term  predikat yang sam-sama berdistribusi terdapat  pada proposisi E dan proposisi I.Demikian pula kualitas konvertend (Proposisi yang hendak di konversi) dan konverse (proposisi yang telah di konversi) harus tetap  sama.jadi,jika konvertend afimatif,konverse-nya pun harus negatif. Agar konklusi benar,ketentuan berikut ini harus di perhatikan;

jika proposisi A di koversikan,hasilnya ialah proposisi I
 jika proposisi E di konversikan,hasilnya tetap proposisi E.
Jika proposisi I di konversikan,hasilnya tetap proposisi I
Adapun proposisi O tidak dapat di konversikan.
Contoh-contoh :
1. konversi Proposisi A
Premis: Semua filsuf adalah manusia (A)
Konklusi: Sebagian manusia adalah filsuf (I)
2. Konversi Proposisi E
Premis: Tak seorang pun filsuf adalah kera (E)
Konklusi: Tak satu pun kera adalah filsuf (E)
3.konversi Proposisi I
Premis: Beberapa anggota ABRI adalah sarjana (I)
konversi: Proposisi Beberapa sarjana adalah anggota ABRI(I)
4. konversi Proposisi O:Tidak dapat di konversikan.

Obversi adalah penalaran langsung yang konklusinya menunjukkan perubhan kualitas proposisi kendali maknanya tetap dan tidak boleh berubah.Adapun kuantitas obvertend (proposisi yang menjadi primis) dan obversi (proposisi yang menjadi konklusi) juga harus tetap sama.Proses yang di tempuh untuk melakukan observasi adalah sebagai berikut:
1. jika proposisi premis afirmatif,ubahlah menjadi negatif ,dan jika proposisi  premis negatif, ubahlah menjadi afirmatif.
2. Negasikanlah term predikatnya.
Karena proses yang di tempuh melalui dua kali negasi,prinsip penarikan konklusi ini di sebut prinsip negasi ganda (double negation).Selain itu,karena proposisi afirmatif di ubah menjadi negatif serta proposisi negatif menjadi afirmatif,maka
Jika proposisi A diobversikan,hasilnya akan menjadi proposisi E;
Jika proposisi E diobversikan,hasilnya akan menjadi proposisi A;
Jika proposisi I diobversikan,hasilnya akan menjadi proposisi O;
Jika proposisi O diobversikan,hasilnya akan menjadi proposisi I.
Contoh –contoh
1. Obsevasi Proposisi A
Premis: Semua presiden adalah manusia.(A)
Konklusi: Semua presiden adalah bukan bukan-manusia.(E)
2    Observasi Proposisi E
Premis: Semua serigala bukan manusia.(E)
Konklusi : Semua serigala adalah bukan-manusia.(A)
3. Observasi  Proposisi I
Primis: Sebagian manusia adalah pemikir.(I)
Konklusi: Sebagian manusia bukan bukan-pemikir.O
4.  Observasi Proposisi O
Primis: Sebagian manusia bukan pelawak.(O)
Konklusi: Sebagian manusia adalah bukan-pelawak,(I)


Kontraposisi
kontraposisi ialah penarikan konklusi secara langsung dengan jalan menukar posisi subjek dan predikat yang telah di negasikan terlebih dahulu. Proposisi konklusinya di sebut kontrapositif.Dalam kontraposisi,jelas terlihat bahwa sesungguhnya arti makna proposisi kontrapositif tetap ekuivalen dengan arti dan makna proposisi premis.Adapun langkah –langkah yang di tempuh dalam proses kontraposisi sebagai berikut;
1.Negasikanlah term subjek dan term predikatnya
2.Konversikanlah term subjek dan term predikat yang telah di negasikan itu.
Dengan  kontraposisi,hanya ada dua proposisi premis yang memiliki kontrapositif.Dengan kata lain,hanya ada dua jenis proposisi yang dapat di kontraposisikan:
- Proposisi A dapat di kontraposisikan
- Proposisi E tidak dapat di kontraposisikan
 - Proposisi I tidak dapat di kontraposisikan
-  Proposisi O dapat di kontraposisikan

contoh –contoh;
1. Kontraposisi Proposisi A
    Premis: Semua filsuf adalah manusia
    Konklusi: Semua bukan –manusia adalah bukan-filsuf
2. Kontraposisi Proposisi E
    Tidak dapat kontraposisikan.
3. Kontraposisi Proposisi I
    Tidak dapat di kontraposisikan.

4.  Kontraposisikan Proposal O
     Premis: Sebagian demonstran bukan mahasiswa.
     Kontrlusi: Sebagian bukan-mahasiswa bukan  bukan –demon stran.

Oposisi
oposisi adalah penalaran langsung yang proposisi konklusinya merupakan oposisi dari proposisi premis dengan term subjek dan predikat yang sama.Hubungan antara proposisi A-E-I-O mengandung empat jenis  oposisi dari proposisi primis dengan term  subjek dan predikat yang sama.Hubungan antara proposisi A-E-I-O Mengandung empat jenis oposisi.

Keempat jenis oposisi itu adalah sebagai berikut:
1. kontrari menunjukkan oposisi antara proposisi A dan E
2. Subkontrari menunjukkan oposisi antara proposisi I dan O
3. Subbalternasi menunjukkan oposisi antara proposisi A,I,dan antara proposisi E dan O.
4. Kontraditari menunjukkan oposisi antara proposisi A,O,dan antara proposisi E dan I.
Itu  dapat di gambarkan sebagai berikut.

Semua pendidik adalah guru          Semua pendidik bukan guru


                                              Kontrari                         



Subaltemasi                Kontradiktori                           Subaltemasi


                                            Subkontrari




Sebagian pendidikan adalah guru   Sebagian pendidik bukan guru
Catatan:
1.Oposisi subalternasi A-I dan E-O:
.Jika proposisi A benar,proposisi I pun benar.
Jika proposisi, I benar, belum tentu proposisi A benar.
Bila proposisi E bena, proposisi O  pun benar.
Bila proposisi O benar, belum tentu proposisi E benar.
2. oposisi kontrari A- E:
jika proposisi A benar, proposisi  E salah.
Jika proposisi, E benar, proposisi A salah
3. Oposisi subkontrari I-O:
 Tidak mungkin kdua-duanya salah.
Bisa pula kedua-duanya benar.
4. Oposisi kontradiktori A-O dan I-E;
Jika proposisi A benar, proposisi O salah.
Jika proposisi O benar, proposisi A salah.
Bila proposisi I benar, proposisi salah.
Bila proposisi E benar, proposisi I salah
Inferensi silogistis
Inferensi silogistis adalah inferensi deduktif dengan menggunakan silogisme. Silogisme ialah penarikan konklusi secara tidak langsung yang merupakan bentuk formal dari penalaran deduktif. Karena silogisme adalah inferensi deduktif, konklusinya tidak akan lebih umum dari premis-premisnya. Premis ialah proposisi-proposisi yang digunakan untuk untuk penarikan konklusi. Konklusi ialah proposisi yang menyatakan hasil inferensi yang dilakukan berdasarkan proposisi-proposisi yang menjadi permis-permis suatu inferensi. Proposisi-proposisi yang menjadi premis-premis dalam suatu silogisme disebut anteseden. Perdikat konklusi disebut trem mayor, dan subjek konklusi disebut trem minor. Itu disebut demikian karena eksistensi predikat konklusi senantiasa lebih lusa daripada subjeknya. Premis yang mengandung term mayor disebut permis mayor, sedangkan premis yang mengandung term minor disebut premis minor. Trem yang tidak terdapat pada proposisi konklusi namun ada dikedua premis disebut term tengah (treminus medius).
Contoh silogisme:      semua filsuf adalah manusia.
                                                     Plato adalah flisuf.
                                                             Jadi , Plato adalah manusia.
Catatan :                                            manusia adalah term mayor.
                                                       Plato adalah term minor.
                                                          Filsuf adalah term tengah.
                                                                Proposisi 1 adalah premis mayor.
                                                                Proposisi 2 adalah premis minor.
                                                                      Proposisi 1 dan 2 disebut anteseden.
                                                      Proposisi 3 adalah konklusi.

                                             Ada empat pola yang digunakan dalam inferensi silogistis dan ada sembilan belas bentuk silogisme yang sahih. Keempat pola tersebut adalah sebagai berikut :
Pola I: MP                               Pola II : PM                Pola III: MP               
                                                 SM                                SM                              MS
                                                 SP                                  SP                                SP
Pola IV: PM
                                                   MS
                                                   SP
Catatan : M: term tengah  S: term minor    P: term mayor
                                             kedelapan belas bentuk silogisme yang sahih adalah sebagai berikut:
Pola                                      Premis Mayor     Premis Minor   Konklusi          nama
    I                                           A                   A                A                barbara
    I                                           E                   A                A                Celarent
    I                                           A                    I                  I                 Darii
    I                                           E                     I                 O                Ferio
   I I                                         A                   E                 E                 Camestres
   I I                                         E                    A                E                 Cesare
   I I                                         A                   O                O                Baroco
   I I                                         E                     I                 O                Festino
III                                            A                     A                     I                      Darapti
III                                            E                      A                     O                     Felapton
III                                            A                     I                      I                      Datisi
III                                            E                      I                      O                     Fersion
III                                            I                      A                     I                      Disamis
IV                                            A                     A                     I                      Bramantis
IV                                            A                     E                      E                      Camenes
IV                                            E                      A                     O                     Fesapo
IV                                            E                      I                      O                     Fresison
IV                                            I                      A                     I                      Dimaris

ETIKA
Etika seringkali disebut sebagai filsafat moral. Berasal dari dua kata dalam bahasa yunani ( ethos ) dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Istilah moral berasal dari kata latin mores, yang merupakan bentuk jamak dari mos, yang berarti adat istiadat atau kebiasaaan, watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup.
            Dalam sejara filsafat barat, Etika adalh cabang filsafat yang amat berpengaruh sejak zaman Sokrates ( 470-399 SM). Etika membahas baik buruk atau benar  tidaknya  tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Eika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaiman manusia seharusnya berbuat atau bertindak.
            Ada bebrbagai pembagian Etika yang dibuat oleh ahli Etika. Beberapa ahli membagi Etika kedalam dua baguan, yakni Etika dekriptif dan Etika normative. Ada pula yang membagi kedalam Eika normatif dan metaetika. Ahli lain membagi kedalam tiga bagian atau tiga bidang studi, yaitu : Etika deskriptif, Etika normative, dan metetika.

Etika Deskriptif
            Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman Moral  secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa ada berbagai fenomena Moral yang dapat digambarkan dan di uraikan secara Ilmiah, seperti yang dapat dilakukan terhadap fenomena spiritual lainnya, misalnya : religi dan seni. Oleh karena itu, Etika Deskriptif di golongkan kedalam bidang ilmu empiris dan hubungan erat debgan Sosiologi. Dalam hubungannya deengan Sosiologi, Etika Deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran,keyakian, dan pengalaman Moral dalam suatu kultur tertentu.
            Etika Deskriptif dapat di bagi kedlam dua bagian: pertama, sejarah Moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan, dan norma-norma moral,  yang pernah di berlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu  dan suatu tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa; kedua,fenomenolohi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral  yang ada. Fenomenologi  moral tidak bermaksud menyediakan  petunjuk-petunjuk atau patokan-patokan moral  yang perlu di pegang oleh manusia karena itu,  fenomenologi moral tidak di permasahkan.

Normatif  Etika
            Etika normatif  kerap kali juga di sebut filsafat filsafat moral ( moral philosophy ) atau juga di sebut Etika filsafati ( philosophical ethics ). Etika normatif dapat di bagi kedalam dua teori, yaitu : tori-teori nilai (theories of value) dan teori-teori keharusan (theories of ligation). Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori-teori keharusan membahas tingkah laku. Ada pula yang membagi etika normative kedalam dua golongan sebagai berikut: konsekuensialis (teleological) dan nonkonsekuensialis (deontological). Konsekuensialis (teleological) nerpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsenkuensinya. Adapun nonkonsekuensial ( deontological ) berpendapat bahwa moralitas suatu tindakn di tentukan oleh sebab-sebab yang menjadi doromgan dari tindakan itu, atau di tentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.
            Teori-teori nilai ( theories of value )  bisa besifat ministis, bisa juga bersifat pluralistis. Aliran hedonism,  baik hedonism spritualis maupun hedonism materialistis sensualistis, merupakan salah satu bentuh dan wujud dari teori nilai yang monistis. Aliran-aliran hedonistis dan non hedonistis juga di masukan ke dalam golongan konsekensialis atau teleological. Aliran  utilitarianisme Bentham dan Mill, karena menekankan kebahagiaan terbesar bagi jumlah yang terbesar,  bersifat hedonistis, maka masuk kedalam golongan konsekuensialis atau teleological. Adpaun aliaran utilitarianisme ideal Moore dan Randall masuk kedalm konsekuensialis atau teleological yang non hedonistis  demikian juga, aliran perfeksionisme Aristoteles dan Green, yang menekankan perkembangan penuh atau kesempurnaan diri sebagai tujuan akhir yang dapat di capai oleh manusia, tergolonh ke dalam konsekensialisme non hedonistis.
            Baik  teteologikal maupun deontological dapat di masuka kedalam teori keharusan ( theories  of obligation ). Salah satu aliran yang terkenal dalam teori keharusan yang teleological ialah aliran egoisme. Salah satu versi egoisme mengajarkan bahwa tolak ukur bagi penillaian benar salahnya suatu tindakan ialah dengan mempertimbangkan untung ruginya tindakan itu  bagi si pelaku sendiri.  Egoisme  menegakan bahwa manusia memiliki Hak untuk berbuat apa saja yang di anggap menguntungkan dirinya.
            Dalam teori keharusan yang depntologikal, tampillah aliran formalism. Para pemikir  formalis mengatakan bahwa akibat ( konsekuensi ) bukan hanya tidak mampu,  melainkan juga tidak relevan untuk menilai suatu tindakan atau perbuatan. Bagi para formalis, yang paling penting dan paling menentukan  ialah motivasi  yang baik akan membuat tindakan atau perbuatan pasti benar kendati akibat perbuatn itu sendiri ternyata buruk.

Metaetika
            Metaetika merupakan salah satu studi analitis terhadap disiplin etika.  Metaetika baru muncul  pada abad ke-20, yang secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta makna istilah-istilah normative yang di ungkapkan  lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Istlah-istilah normative yang sering mendapat perhaitan khusus antara lain; keharusan, baik, buruk, benar, salah, yang terpuji, yang tidak terpuji, yang adil,  yang semestinya, dan sebagainya.
            Ada beberapa teori  yang di sodorkan oleh aliran-aliran yang cukup terkenal  dalam metaetika. Teori-teori tersebut ialah teori naturalistis dari naturalism, teori intiutif  dari intuisionisme, teori kognitivis dari kognitivisme, teori subjektif dari subjektivisme, teori emotif dari emosivisme, teori imperative dari imperativisme, dan teori skeptic dari skeptisisme.
            Teori naturalistis mengatakan bahwa istilah-istilah moral sesungguhnya menamai hal-hal atau fakta-fakta yang pelik dan rumit. Istilah-istilah normatif etis, seperti baik dan benar, dapat disamakan dengan istilah-istilah deskriptif, yang di kehendaki Tuhan,  yang di idamkan atau yabg biasa. Teori naturalistis juga berpendapat bahwa ertimbangan-pertimbangan moral dapat di lakukan lewat penyelidikan dan penelitian ilmiah.
            Teori kognitivis mengatakan bahwa petimbangan-pertimbangan moral tidak selau benar, sewktu-waktu bisa keliru. Itu berarti keputusan moral bisa benar dan bisa salah. Selain itu, pada prinsipnya pertimbangan-pertimbangan moral dapt menjadi subjek pengetahuan atau kognisi. Teori kognitivis dapat bersifat naturalistis dan dapat juga bersifat non-naturalistis.
            Teori intuitif berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah di peroleh secara intiutif. Teori intiutif menolak kemungkinan untuk memberi batasan-batasan non-noramtif terhadap istilah-istilah normative etis. Bagi teori intuitif, pebgetahuan manusia tentang yang baik dn tentang yang salah itu jelas dengan sendirinya karena manusia dapat merasa dan mengetahui secara langsung apakah nilai hakiki suatu hal itu baik atau buruk, atau benar tidaknya suatu tindakan.
            Teori subjektif menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesumgguhnya hanya dapat  mengungkapkan fakta-fakta subjektif tentang sikap dan tingkah laku manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral itu tidak mungkin dpat mengungkapkan fakta-fakta objektif. Karena itu, apabila seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu benar, sebenarnya ia mengatakan bahwa ia myetujui sesuatu itu benar demikian. Sebaliknya, apa bila ia mengatakan sesuatu itu salah, sesungguhnya ia hanya mengungkapkan ketidak setujuanya terhadap apa yang dikatakan salah itu.
             Teori emotif  menegaskan bahwa pertimbangan- pertimbangan moral tidak mengungkapkan sesuatu apapun yang dapat di sebut salah atau benar kendati hanya secara subjekti. Pertimbangan-pertimbangan ,oral tidak lebih dari suatu ungkapan emosi semata-mata. Menurut teori emotif,  istilah-istilah etis tidak memiliki makna apapun kecuali hanya sebagai tanda dari luapan perasaan dan, dalam hal ini, sama saja seperti rintihan, seruan, umpatan, dan sebagainya.
            Teori imperative berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan  moral sesungguhnya bukanlah ungakapn dari sesuatu  yang dapat di nilai salah atau benar. Dengan demikian, tak satupun istilah moral  yang dapat memuat sesuatu  yang boleh disebut atau benar. Teori yang dapat imperativf mengatakan bahwa istilah-istilah moral itu sesungguhnya hanya merupakan isilah-istilah samara dari keharusan atau pun perintah. Jadi, apabial di katakana “ kebohongan itu tidak baik ‘’, yang dimaksudkan ialah ‘ jangan berbohong’. Jadi dikatakan ‘ kebaikan adalh terpuji dan benar ‘, yang di maksudkan ialah ‘ lakuakn lah yang baik’.
            Teori-teori emotif dan imperative dapat dimasuak kedalam nonkonitivisme.  Teori subjektif tidak dapat disebut nonkognitivis,  tetapi juga tak  dapat disebut kognitivis. Akan tetapi, subjektivisme, emotifisme, dan imperativisme dapat dimasukan ke dalam skeptisime.
            Yang dapat di golongkan ke dalam skeptisisme ialah teori-teori yang mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada kebenaran mora;  yang mengatakan moralitas tidak memik\liki dasar rasional; yang mengemukakan bahwa prinsip-prinsip moral tidak dapat di biktikan kebenarannya; yang berpendapat bahwa salah benarnya suatu hal itu hanyalah semata-mat soal adat, kebiasaaan, ataupun selera; atau yang mengatakan bahwa norma-norma etis tidak mutlak. Karena itu, relativismepu termasuk kedalam skeptisisme karena mengajarkan bahwa norma-norma etis itu bersifat relative dan hanya benar serta berlaku dalam suatu lingkungan buadaya tertentu  dalam kurang waktu tertentu pula.

Estetika
            Estetiaka adalah cabang filsafat  yang mepersoalkan seni (art) dan keindahan (beauty ). Istilah estetika berasal dari kata yunani aesthesis, yang berarti  pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art (seni) berasal dari kata ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kevakapan.
            Sejak zaman Yunani purba, estetika filsafat sering disebut dengan berbagai nama, seperti filsafat seni (philosophy of art), filsafat keindahan (philosophy of beauty), filsafat citarasa ( philosophy of taste), dan filsafat kritisisme (philosophy of criticism). Akan tetapi, sejak abad XVIII, istilah estetika mulai menggantikan nama-nama tersebut.
            Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Alexander Gottlieb Baumgarten (17 Juli 1714-26 Mei 1762) lewat karyanya, Meditationes philosophicae de nonullis ad poema pertinentibus (1735), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Reflections on poetry (1954). Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya yang berjudul Aesthetica acromatica (1750-1758).
            Estetika dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika normatif mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran pengalaman keindahan. Ada pula yang membagi estetika ke dalam filsafat seni (philosophy of art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty). Filsafat seni mempersoalkan status ontologism dari karya-karya seni dan mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu dan apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.
            Sepanjang sejarah filsafat, pandangan dan pendapat para filsuf tentang masalah estetis amat bervariasi. Plato berpendapat bahwa seni (imitation). Sebagai contoh, pelukis yang melukis suatu panorama alam yang indah sesungguhnya hanya meniru panorama alam yang pernah dilihatnya. Karya-karya seni hanyalah tiruan dari meja, burung, kucing, dan sebagainya. Sedangkanmeja, burung, dan kucing yang ditiru itu hanyalah tiruan dari bentuk ideal meje, burung, dan kucing yang ada di dalam dunuia ide. Dengan demikian, karya-karya seni itu merupakan tiruan yang ke dua dan oleh karenaitu tidak sesempurna aslinya.
            Aristoteles  sependapat dengan plato mengenai seni sebagai tiruan dari berbagai hal  yang ada . contoh yang di berikan oleh Aristoteles iakah puisi. Aristoteles mngatakan bahwa puisi adalah tiruan dari  tindakan dan perbuatan manusia yang dinyatakan lewat kata-kata. Apabila plato menganggap bahwa seni itu tidak begitu penting kendati karya-karya tulisnya merupakan karya seni sastra yang tak tertandingi sampai sekarang ini, aristoteles justru menganggap bahwa seni itu penting karena memiliki pengaruh yang besar bagi manusia. Aristoteles mengatakan bahwa puisi lebih filsafati dari pada sejarah.
            Estetika pada abad pertengahan tidak begitu mendapat perhatian dari para filsuf. Itu karena gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni karena dianggap duniawi dan merupakan produk bangsa kafir yunani dan romawi. Akan tetapi, Augustinus (354-430) memiliki minat cukup besar pada seni. Ia mengembangkan suatu filsafat platonisme Kristen dengan mengajarkan bentuk-bentuk platonic (platonic forms). Ia mengatakan bahwa bentuk-bentuk platonic juga berada dalam pemikiran Allah. Menurut Augustinus, keindahan merupakan salah satu bentuk yang ada dalam pemikiran Allah: oleh sebab itu, keindahan dalam seni dan keindahan dalam alam haruslah memiliki pertalian yang erat dengan agama. Kendati Augustinus mengikuti ajaran plato tentang keindahan, ia tidak sependapat dengan plato  yang mengatakan bahwa seni hanyalah tiruan. Augustinus mengatakan bahwa hewan pun meniru, tetapi tidak dapat menghasilkan karya seni.
            David Hume (1711-1776) mengatakan bahwa keindahan bukanlah suatu kwalitas objektif yang terletak didalam objek-objek itu sendiri, melainkan berada di dalam pikiran. Manusia tertarik pada suatu bentuk dan struktur tertentu lalu menyebutnya indah. Hume mengatakan bahwa apa yang dianggap indah poleh manusia sesungguhnya amat ditentukan oleh sifat alamai manusia yangh dipengaruhu juga oleh kebiasaan dan preferensi individual.
            Immanuel kant (1724-1804) menganggap kesadaran estetis sebagai unsur yang penting dalam pengalaman manusia pada umumnya. Sama seperti Hume, Kant juga berpendapat bahwa keindahan itu marupakan penilaian estetis yang semata-mata subjektif. Di dalam karyanya, critique of judgment (1790), Kant mengatakan bahwa pertimbangan estetis ( Aesthetic judgment) memberikan fokus yang amat dibutuhkan untuk menjembati segi-segi teori dan praktek dari sifat dasar manusia.
            George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) dan Arthur Schopenhauer (1788-1860) mencoba menyusun tata jenjang bentuk-bentuk seni itu. Bagi Hegel, arsitektur berada pada jenjang paling bawah dan puisi berada dipuncaknya. Adapun Schopenhauer menempatkan music ditempat tertinggi dan arsitektur di tempat terendah.
            John Dewey (1859-1952), filsuf amerika yang dikenal sebagai eksponen pragmatism, menentang dualisme yang hendak memisah-misahkan segala sesuatu yang seharusnya saling terpaut dan utuh. Dewey berupaya untuk  menunjukkan bahwa seni itu sesungguhnya suatu hal yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dewey berpendapat bahwa seni terpaut begitu erat dengan segi-segi kehidupan lainnya, maka sangat keliru apabila seni hendak dipisahkan dari segi-segi kehidupan lainnya.
            Filsuf Amerika lainya, George Santayana (1866-1952), mengembangkan estetika naturalistis. Sama seperti Hume dan kant, Santayana menolak objektivitas keindahan. Menurut Santayana, keindahan identik dengan kesenangan yang dialami manusia ketika ia mengamati objek-objek tertentu. Santayana mengatakan bahwa keindahan itu adalah perasaan senang yang diobjektivkan dan diproyeksikan ke dalam objek yang diamati.
            Filsuf Italia, Benedetto Croce 1866-1952), mengembangkan teori estetikanya lewat alam piker filsafat idelisme. Croce menyamakan seni dengan intiusi, dan menurut croce intuisi adalah gambar yang berada di alam pikiran. Dengan demikian, seni itu berada didalam alam pikiran seniman. Karya seniman dalam bentuk fisik sesunggunya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu untuk menolong penciptaan kembali seni yang sebenarnyaberada di alam pikiran seniman. Croce juga menyamakan intuinsi dengan ekspresi. Karena seni sama dengan ekspresi, berarti seni sama dengan ekspresi. Apa yang diekspresikan itu tidak lain dari perasaan seniman. Croce mengatakan seni adalah ekspresi dari kesan-kesan.
            Clive Bell (1851-1964) mempopulerkan gagasanya lewat ungkapan bentuk yang berarti dan perasaan etis. Yang dimaksudkan dengan bentuk yang berarti ialah hal yang membuat karya-karya seni itu benar-benar bernilai. Perasaan estetis hanya dapat dialami pada saat seseorang sungguh-sungguh menyadari akan bentuk yang berarti. Apakah bebtuk yang berarti itu? Bell tidak apa yang dimaksudkanny dengan bentuk yang berarti itu. Ia hanya mengatakan bahwa bentuk yang berarti ialah bentuk hasil karya seni yang mengugah perasaan seni seseorang. 

FILSAFAT TENTANG BERBAGAI DISIPLIN
        Sebagaimana yang dikemukakan sebelunya, pada mulanya filsafat mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang telah dikenal pada masa itu. Kemudian, secara berangsur-angsur, satu demi satu, berulah berbagai ilmu pengetahuan melepaskan diri dari Filsafat dan menjadi yang mandiri.
Sesudah itu, perkembangan ilmu-ilmu yang telah mandiri itu begitu pesat dan mengumumkan serta memberi harapan luar biasa sehingga banyak orang begitu yakin bahwa berbagai ilmu pengethuan yang telah mandiri itu dapat menjawab dan memecahkan seluruh persoalan yang selama ini tidak dapat dijawab dan dipecahkan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika banyak orang yang bahwa dengan perkembangannya berbagai ilmu pengetahuan ini,Filsafat semakin terdesak dan akhirnya tidak diperlukan lagi. Akan tetapi kenyataan menujukkan bahwa sesungguhnya ada banyak hal yang tidak dapat dijawab dan dipecahkan oleh berbagai ilmu pengetahuan.
Pada umumnya ilmu pengetahuan dikembangkan dengan bertolak dari realitas serta dan mengajukan pertayaan-pertanyaan factual dan praktis. Akan tetapi, apabila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada suatu bidang ilmu pengetahuan telah melampaui yang factual dan praktis serta mengaju kepada upaya untuk mencari kejelasan tentag seluruh realitas itu sendiri, maka berbagai ilmu pengetahuan yang telah mandiri itu terpaksa harus kembali keinduknya, yakni Filsafat tentang seluruh realitas serta mencari akar dan asas realitas telah berada diluar kompetensi ilmu pengetahuan karena sesungguhnya hal itu merupakan suatu upaya Filsafati yang membutuhkan pemikiran abstrak dan reflektif kritis.

Karena banyak pertanyaan yang diajukan pada berbagai bidang ilmu pengetahuan telah melampaui kompetensifilsafat khusus ini bidang itu sendiri harus dimintakan jawabannya kepada filsafat, maka lahirlah Filsafat khusus tentang berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Filsafat khusus ini menerapkan berbagai metode Filsafati dalam upaya mencari akar dan menemukan asas realitas yang dipersoalkan oleh bidang ilmu tersebut demi memperoleh kejelasan lebih pasti.
Beberapa banyak Filsafat tentang berbagai disiplin ilmu pengetahuan? Setiap disiplin ilmu pengetahuan membutuhkan Filsafat sehingga pada hakekatya jumlah filsafat tentang berbagai disiplin ilmu banyak jumlah disiplin ilmu yang ada. Pada masa kini, ada begitu banyak ilmu pengetahuan yang bverkembang. Ilmu-ilmu dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
1.      Ilmu deduktif ( ilmu formal)
2.      Ilmu induktif ( ilmu empiris)
3.      Ilmu reduktif ( ilmu sejarah) 
Pada hakekatnya persoalan-persoalan Filsafati terdapat seluruh bidang ilmu dari tiga kelompok tersebut, namun banyakhanya beberapa saja yang akan dikemukakan dan diulas secara ringkas.

FILSAFATI POLITIK
Filsafat politik merupakan salah satu cabang  Filsafat  yang tertua filsafat politik adalah refleksi Filsafati mengenai masalah-masalah sosial  politik yang dapat dibedakan menjadi dua bagian pembahasan  yang berkaitan erat. Yang pertama mempersoalkan hakikat, sedangakan yang kedua fungsi dan tujuan.
                                                         
Akan tetapi , dalam kenyataan, Filsafati politik bukan hanya memprsoalkan hakekat, fungsi dan tujuan Negara, melainkan juga membicarakan keluarga dalam Negara, pendidikan, agama, hak dan kewajiban individual, kekayaan dan harta, milik, pemerintah dan sebagainya.
Plato, dalam bukunya yang berjudul repoblik, mempersoalkan dan membahas berbagai permasalahan tersebut? Bagi Plato, Negara ideal ialah Negara yang penuh dengan kebajikan dan keadilan. Setiap warganya berfungsi sebagaimana mestinya dalam upaya meralisasikan Negara ideal itu. Agar warga Negara dapat berfungsi sebagaimana mestinya pendidikan harus diatur oleh Negara.
Pendidikan menduduki tempat amat penting dalam Filsafati politik plato. Agar Negara ideal itu dapat terwujud  nyata, yang patut menjadi raja. Bagi plato, Filsuflah yang harus menjadi raja karena hanya Filsuf yang benar-benar mengenal ide-ide dengan demikian, ia pun tahu, tentang kebajikan, kebaikan, dan keadilan sehingga  pemerintahnnya tidak akan mengarah padea kejahatan dan ketidakadilan. Karena Filsuflah yang dianggap memiliki pengetahuan yang sesungguhnya, sedangkan bagi plato, pengetahuan adalah kekuasaan, maka hanya filsuflah yang layak memerintah.
Aristoteles berpendapat bahwa negara adalah  h koinonia politi he koinonia (persekutuan yang dibentuk polis. Yang dibentuk demi kebaikan tertinggi the lighast good) bagi manusia. Negara harus mengupayakan dan menjamin kesejahteraan bersama yang sebenar-benarnya karena hanya dalam kesejahteraan bersama (kesejahteraan umum) kesejahteraan individual dapat diperoleh.
        Menurut Aristoteles, alangkah baiknya apabila negara diperintah oleh seorang si filsuf raja yang memiliki pengetahuan sempurna dan amat bijaksana karena akan menjamin tercapainya kebaikan tertinggi bagi warga negara. Akan tetapi, di dunia ini tidak mungkin ditemukan seorang filsuf raja yang sempurna. Oleh karena itu, Aristoteles mengatakan bahwa yang penting ialah menyususn hukum atau konstruksi terbaik yang menjadi sumber kekuasaan dan menjadi pedoman pemerintahan bagi para penguasa.
        Filsafat politik klasik senantiasa bermuara pada etika yang pada masa itu menduduki tempat paling mulia di antara segala cabang filsafat. Persoalan yang dikemukakan dan pertanyaan yang diajukan merupakan abstraksi moral yang bersumber dari  upaya untuk memberi arti dan makna bagi kehidupan individu dan masyrakat. Dengan demikian, ada tujuan lebih pasti dan lebih agung yang hendak diraih kendali harus melewati perjuangan yang tak kunjung selesai.
        Dalam filsafat politik modern, pokok persoalan yang utama ialah individu dan hak-hak yang dimilikinya. Itu terlihat jelas lewat tema-tema pembahas filsafat politik masa kini yang berkisar pada soal kebebasan, kekuasaan, otoritas, hak-hak asasi manusia, demokrasi hak dan kewajiban, keadilan dan sebagainya.
        Apakah perbedaan antara ilmu politik dan filsafat ilmu politik? Memang dewasa ini banyak orang yang mempertanyakannya. Perbedaannya ialah ilmu politik bersifat deskriptif , bersangkut paut dengan fakta, sedangkan filsafat politik bersifat normatif bersangkut paut dengan nilai-nilai justru itu pulalah yang menjadi ciri khas tentang berbagai disiplin ilmu.      

FILSAFAT  HUKUM
Apa bila simak karya-karya para filsuf yunani purba, teristimewa karya-karya plato dan Aristoteles, akan terlihat dengan jelas bahwa filsafat hukum merupakan bagian filsafat politik. Akan tetapi, dewasa ini filsafat hukum telah menjadi bagian filsafat yang berdiri sendiri.
Filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum.Filsafat  hukum bersifat universal karena mempersoalkan hukum yang bersifat umum. Filsafat umum tidak membicarakan hukum di indonesia, atau hukum di Amerika serikat, melainkan hukum itu an sich. Adapun ilmu hukum mempelajari isi perundang-undangan yang berlaku di indonesia, diperancis, di Amerika Serikat, dan sebagainya.
Filsafat hukum adalah refleksi Filsafati mengenai masalah-masalah hukum. Yang dipersoalkan ialah apakah sebenarnya hukum itu; apakah fungsi hukum; apakah tujuan hukum; apakah keadilan itu; mengapa manusia harus takluk pada hukum.
Plato membahas hukum  dan bukunya yang berjudul republik, politicus, dan The law. Plato mengatakan bahwa hukum hanya merupakan sebagian dari pengetahuan yang dimiliki oleh penguasa negara, yaitu sang filsuf-raja. Karena itu, sang filsuf-raja  tidak tunduk kepada hukum.Hukum bisa berarti baik bagi yang diperintah, sejauh ia dinilai  baik oleh sang-raja. Karena Filsuf-raja selaku penguasa adalah orang paling arif, yang memiliki moralitas dan pengetahuan yang sempurna, maka warga negara tidak perlu merasa khawatir bahwa pada suatu saat sang filsuf-raja akan menyalah gunakan terhadap hukum. Sikap plato yang demikian itu merupakan akibat logis dari keyakinannya yang menempatkan pengetahuan di atas segala-galanya. Ini karena apabila pengetahuan yang dinobatkan menjadi “yang mulia”, segala sesuatu yang lain-termasuk hukum-harus berada dibawahnya.
Akan tetapi, kemudian plato menyadari bahwa ternyata sangat sulit mencari orang yang benar-benar arif dan memiliki ilmu pengetahuan yang sempurna. Oleh sebab itu, dalam bukunya yang berjudul polotikus dan the Laws, plato mengungkapkan betapa perlunya menegakkan hukum dan membuat undang-undang. Dengan kata lain, para penguasa harus memerintah dengan hukum dan berdasarkan undang-undang.
Itu tidak berarti bahwa plato mendewakan dan mengagungkaan hukum. Ia mengatakan bahwa undang-undang dibuat demi kebutuhan praktis, namun undang-undang tidak boleh mengikat, membelenggu, dan membatasi gerak seorang negarawan sejati untuk mengubah, menambah atau membatalkan semua undang-undang yang telah usang.
Selanjutnya, plato berpendapat bahwa hukum dan undang-undang bukan semata-mata dimaksudkan utuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitass negara, melainkan untuk menolong warga negara mencapai keutamaan atau kebajikan pokok sehingga benar-benar layak menjadi warga negara ideal.
Aristiteles berpendapat bahwa hukum adalah sumber kekuasaan dalam negara. Hanya apabila hukum yang menjadi  sumber kekuasaan, barulah pemerintahan para penguasa akan terarah untuk kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum. Hukum sebagai sumber kekuasaan harus memiliki kewibawaan dan kedaulatan tertinggi dalam negara. Bagi Aristoteles, hukumlah yang seharusnya memeiliki kedaulatan tertinggi bukan manusia, karena bagaimana pun arifnya para penguasa itu tidak mungkin mereka dapat menggantikan kedudukan hukum.
Aristoteles adalah filsuf pertama yang membedakan antara hukum kebiasaan (customary laws) dan hukum tertulis (writeen laws). Hukum kebiasaan adalah landasan dari segala pengetahuan dan pengalaman manusia disepanjang masa. Oleh sebab itu, hukum kebiasaan bersifat abadi, berlaku dengan sendirinya, dan pada dasarnya tidak berubah-ubah.  Adapun hukum tertulis, seluruhnya dibuat, disusun, dan ditetapkan oleh manusia, maka dapat diubah-ubah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia.
Menurut tradisi hukim alam (yang berkembang pada abad pertengahan, tetapi yang berakar pada ajaran stoisisme dan Aristoteles), hukum harus sesuai dengan alam yang universal.para fisuf kristen mengatakan bahwa hukum haruslah seirama dengan hukum ilahi (divine law). Dalam versi sekuler dikatakan bahwa hukum itu haruslah sejalan dengan natur manusia; bila tidak, hukum itu bukanlah hukum yang benar.Oleh sebab itu, lahirlah ungkapan yang mengatakan lex iniusta non est lex.
Pada masa kini dipersoalkan pula mengenai tanggung jawab sebagai masalah utama dalam ithical jurisprudence. Dalam keadaan bagaimanakah seseorang bertanggung jawab atas perbuatan yang melanggar hukum? Sehubungan dengan itu, lahirlah ungkapan yang mengatakan actus nonfacit reumnisi mens sit rea (suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah kecuali pikirannya bersalah).

                                                          FILSAFAT AGAMA
Filsafat agama bukanlah cabang teologi. Oleh karena itu, filsafat agama bukan merupakan pembelaan filsafat terhadap dogma,, ajaran teologis tertentu, dan keyakinan religius.Filsafat agama adalah cabang filsafat yang baru muncul sekitar abad ke-18.
Fisafat agama sering juga dikacaukan dengan teologi natural, istilah yang telah dikenal sejak abad pertengahan, namun permasalahannya telah dipersoalkan sejak zaman yunani purba. Teologi natural adalah supaya rasional untuk menjawab pertanyaan tentang Allah: apakah Allah benar-benar ada?  Jika benar ada, bagaimanakah keberadaannya?  Bagaimanakah sifat-sifatnya dan bagaimanakah hubungannya dengan manusia alam? Sebagai contoh, Xenophanes (570-475 SM) mengatakan bahwa Allah itu satu adanya.Allah tidak diciptakan, tidak bergerak, tidak berubah. Ia mengisi seluruh alam; ia mendengar semua, melihat semua, dan memimpin alam dengan kekuatan pikirannya. Aristoteles mengatakan bahwa Allah adalah substansi yang sempurna. Allah itu bersifat imaterial. Ia adalah penggerak pertama, dan sebagai penggerak pertama Ia adalah penggerak yang tak digerakan. Dengan demikian, teologi natural dapat dikatakan sebagai puncak metafisika.
Filsafat agama sebenarnya berarti pemikiran filsafati tentang agama, dapat pula dikatakan bahwa filsafat agama adalah pemikiran kritis analitis tentang agama. Yang hendak dianalisis oleh filsafat agama ialah hakikat agama itu sendiri, yakni pengalaman-pengalaman religius manusia. dengan demikian, jelas terlihat bahwa filsafat agama tidak menganalisis isi kepercayaan iman. Melainkan mempertanyakan apakah hakikat iman an sich. Selain itu, filsafatama juga menganalisis dan berupa menjelaskan fenomena agama, terutama hakikat hubungan manusia dengan Allah.
Apakah hakikat agama? Agama adalah suatu keyakinan akan adanya suatu kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, sekaligus juga membentuk dan menjadi dasar tingkah laku manusia. Oleh sebab itu, agama juga merupakan suatu misteri yang tak terpecahkan oleh akal budi manusia.
Pengalaman religuis adalah suatu hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan. Hubungan itu menggoncangkan, tetapi juga memberi kedamaian. R. Otto mengatakan bahwa hubungan manusia dengan yang kudus (Numen) membuat manusia gemetar, segan, dan takut itu juga membuat manusia tertarik dan terdorong untuk menyatu diri dengan-Nya.

 Pengalaman manusia dalam hubungan dengan Tuhan sangat berbeda dengan pengalaman biasa.Hubungan dengan Tuhan mendorong manusia untuk mengamil sikap tertentu, antara lain senantiasa berkomunikasi dengan-Nya lewat doa dan pujian, beriman, menyerahkan diri, taat, mengasihi, dan bergantung kepadaNya.

Filsafat Pendidikan
Dalam arti yang sangat luas, dapatlah dikatakan bahwa filsafat pendidikan sebagai pemikiran-pemikiran Filsafati tentang pendidikan. Ada yang mengatakan bahwa filsafat Pendidikan ialah filsafat tentang proses pendidikan, dan ada pula yang mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan (the philosophy of the dicipline of education).
Filsafat tentang proses pendidikan bersangkut-paut dengan cita-cita, bentuk metode atau hasil dari proses opendidikan. Adapun filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan bersifat metadisipliner, dalam arti bersangkut paut dengan konsep-konsep, ide-ide, dan metode-metode disiplin ilmu pendidikan. secara histiris, filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh para filsuf, seperti Aristoteles, Agustinus, dan Locke, adalah filsafat tentang proses pendidikan sebagai-bagian dari sistem filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik, epistemology, dan meta fisika yang mereka anut.
Adapun filsafat pendidikan yang dikembangkan akhir-akhir ini, oleh pengaruh filsafat analitik, merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan dalam konteks dasar-dasar pendidikan (foundactions of education) yang dihubungkan dengan bagian-bagian lain dalam disiplin ilmu pendidikan, yaitu sejarah pendidikan, psikologi pendidikan, dan sosiologi pendidikan.
            Ada beberapa aliran filsafat yang begitu mempengaruhi perkembangan filsafat pendidikan sampai saat ini. beberapa aliran yang sangat penting akan dibicarakan secara singkat berikut ini.
Ø  Filsafat analitik, mengetengahkan dan membahas proposisi-proposisi substantif ataupun persoalan-persoalan faktual dan normatif tentang pendidikan. Filsafat pendidikan analitik menganalisis serta menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep pendidikan seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education), dan sebagainya, serta mengancam dan mengklarifikasi sebagai selogan pendidikan seperti “ajaraan anaak-anak dan bukan mata pelajaraan” (teach children, not subjects). Alat-alat yang digunakan oleh filsafat analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan linguistik serta teknik-teknik analisis yang berbeda antara seorang filsuf dan filsuf lain.
Ø  Progresivisme, berpendapt bahwa pendidikan bukanlah sekedar menstransfer pengetahuan kepada anak-anak didik, melainkan melatih kemampuan dan keterampilan berfikir dengan memberi rangsangan yang tepat. John Dewey (tokoh pragmatisme), yang termasuk dalam golongan progresivisme, menyatakan bahwa sekolah adalah institusi sosial dan pendidikan itu sendiri adalah suatu proses sosial. Selanjutnya, pendidikan adaalah proses kehidupan (process of  living), bukan sebagai persiapan untuk masa depan. Pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus lebih diutamakan, bukan subject-oriented.
Ø  Eksistensialisme, menyatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensial mereka. para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh sianak didik, tetapi yang lebih penting ialah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Para pendidik eksistensialis menolak  pendidikan dengan sistem indoktrinasi.
Ø  Rekonstruksionalisme, terutama merupakan reformasi sosial yang menghendaki reanisans sivilisasi moderen. Para pendidik rekonstruksionalisasi melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial itu sesungguhnya sama. Mereka memandang kurikulum sebagai “problem-centered”. Pendidikan pun harus menjawab pertanyaan George S.Count:”Beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru?”


17
Filsafat Sejarah
            Pembahasan filsafat sejarah mengikuti dua alur yang berbeda. Alur pertama berupa untuk memandang proses sejarah secara menyeluruh, baru kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa untuk memahami arti dan makna serta tujuan sejarah. Filsafat sejarah yang mengikuti alur pertama di sebut filsafat sejarah spekulatif. Alur kedua tidak memandang kepada proses sejarah secara menyeluruh, melainkan justru memikiran masalah-masalah pokok penyelidikan sjarah itu sendiri, cara dan metode yang yang digunakan kedua ini disebut filsafat sejarah kristis.
            Dalam filsafat sejarah spekulatif, biasanya ada beberapa pertanyaan yang berupanya dijawab, antara lain: Apakah hikmat, arti, dan makna sejarah itu? Apakah sebenarnya yang menggerakkan sejarh itu? Apakah tujuan akhir proses sejarah itu? Tokoh-tokoh filsafat sejarah spekulatif yang terkenal ialah Giambattista Vico (1668-1744), Johann Gottfried von Herder (1744-1803), Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883), dan Arnold Joseph Toynbee (1889-1975)
            Dasar yang digunakan para filsafat sejarah spekulatif untuk menafsirkan proses sejarah begitu bervareasi. Ada yang mendasarkan tafsiran mereka atas dasar pertimbangan emperis, metafisis, dan juga religius. Karenja dasar yang digunakan berbeda-beda, tentusaja bentuk dan hasil tafsir merekapun berbeda-beda. Sebagai contoh, Marx berpendapat bahwa sejarah sesungguhnya mengikuti pola garis lurus tunggal yang terarah pada suatu tujuan yang dapat diketahui sebelumnya. Bagi Toynbee, sejarah merupakan suatu siklus perubahan tetap yang senantiasa berulang.
            Hal-hal yang dipertanyakan pada filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistomologis dan konseptual. Epistomologis adalah suatu kajian yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur dan metode pengetahuan, sedangkan konseptual adalah proses penyampaian dan penerimaan informasi dari pihak penyelenggara kegiatan. Pada umumnya pembahasan berkisar pada dua pokok soal yang penting, yaitu mengenai logisitas eksplanasi sejarah masa silam. Karena itu, timbullah pertanyaan-pertanyaan: Bagaimanakah sifat logis eksplanasi peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh sejarahwan? Apakah narasi sejarah memiliki validitas objektif? Tokoh-tokoh filsafat sejarah kritis ialah Wilhelm Dilthey (1833-1911), Benedetto Croce (1866-1952), dan Roobin George Ccollingwood (1889-1943).

FILSAFAT BAHASA
Filsafat bahasa yang berkembang dewasa ini sering pula disebut sebagai filsafat analitik. Pelopornya adalaha George Edward Moore (1873-1959), seorang filsuf Inggris dari Universitas Cmbridge. Filsafat yang dikembangkan oleh Moore merupakan kritik terhadap non-idealisme, yang katanya membuat pernyataan-pernyataan filsafat yang tidak mudah dipahami karena tidak didasarkan pada logika. Menurut Moore, tugas filsafat bukanlah untuk memberikan eksplanasi dan interpretasi mengenai pengalaman kita, melainkan memberi penjelasan dan keterangan terhadap konsep atau gagasan terhadap analisis yang didasarkan pada akal sehat (common sense). Moore berpendapat jalan dengan bahasa kita yang digunakan sehari-hari. Hal itu justru menunjukan bahwa common sense telah diabaikan.
Filsuf yang mengembagkan filsafat analitik lebih lanjut ialah Bertrand Russel (1872-1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951), keduanya dari Universitas Cambridge. Ketika studi di Cambridge, Wittgenstein adalah murid Russel, tetapi dalam filsafat, Russel belajar banyak dari Wittgenstein.
Menurut Bertran Russel, bahasa yang benar merupakan deskripsi dari suatu realitas. Dengan menyelidiki unsur-unsur paling kecil dari bahasa, Russel menemukan gambaran atau fakta-fakta atomis. Ia menyebut bagian-bagian paling kecil dari bahasa sebagai atom-atom logis. Rangka8ian atom-atom itu membentuk apa yang disebutnya molekul-molekul logis, yaitu pernyataan-pernyataan sederhana. Russel berpendapat bahwa filsafat yang benar-benar bercorak ilimiah haruslah menggunakan bahasa logika, bukan bahasa biasa.
Filsafat Wittgenstein dibagi dalam dua periode yang masing-masing mempengaruhi filsafat tertentu. Pemikiran Wittgenstein dalam periode sebelum tahun 1930 (Wittgenstein I), yang dikenal lewat karya tulisanya yang berjudul Tractus Logico-Philosophicus, mempengaruhi lingkaran wina dan Neopositivisme di Inggris. Pemikiran Wittgenstein sesudah tahun 1930 (Witgenstein II), yang dikenal lewat karya tulisanya yang berjudul Philosophical Investigations, yang mernjadi titik awal analitika bahasa.
Wittgenstein I menegaskan bahwa pernyataan-pernyataan deskriptif yang memilkii arti. Bahasa haruslah merupakan suatu deskripsi atau gambaran yang jelas dari sebuah realitas; bila tidak, ia sama sekali tidak mempunyai arti.
Wittgenstein II menyatakan bahwa arti suatu pernyataan tergantung pada jenis bahasa yang dugunakan. Ada beberapa jenis bahyasa yang dug unakan memilki logika dan kebenaran tersendiri. Dalam philosophical Investigations, Wittgensteinmenjelaskan konsepnya tentang permainan bahasa (language games). Permainann bahasa adalah suatu proses pemakaian kata, termasuk pula pemakaian bahasa yang sederhana. Setiap bentuk permainan bahasa memilki ketentuan dann aturan tersendiri yang tidak boleh dicampuradukan agar tidak menimlkan kekacauan. Dengan, demikian, jelas terlihat bahwa tidak mungkin ada ketentuan dan peraturan umum yang dapat mengatur seluruh bentuk permainan bahasa. Jelas pula dalam arti sebuah kata tergantung pada pemakaiannya kalimat. Adapun dalam arti kalimat tergantung pada pemakaian dalam bahasa.


FILSAFAT MATEMATIKA
Sejak sekitar Milenia ke-5 dan ke-3 SM, matematika telah dikenal di Mesir dan Babilonia sebagai suatu alat yang sangat berguna untuk memecahkan ber4bagai persoalan dan masalah praktis. Sebagai contoh, banjir tahunan disungai Nil memaksa orang-orang Mesir purba mengembangkan suatu rumus atau formula  yang membantu mereka  menetapkan dan menentukan kembali batas-batas tanah. Rumus-rumus matematika juga digunakan untuk konstruksi, menentukan kalender, dan perhitungan dalam perniagaan. Akan tetapi, matematika sebagai ilmu, baru dikembangkan oleh para filsuf Yunani sekitar lima ribu tahun kemudian. Filsuf-filsuf besar Yunani yang mengembangkan matematika ialah Phytagoras dan Plato, kendati dapat dikatakan bahwa secara umum filsuf Yunani purba bukan hanya menguasai matematika, melainkan ikut serta dalam perkembanganya.
Bagi Phytagoras, matematika adalah alat yang sangat penting untuk memahami filsafat. Ia pun menemukan sebuah fakta  yang menunjukan bahwa fenomena yang berbeda dapat diperlihatkan sifat-sifat sistematis yang identik. Karena itu, ia menyimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut dapat dilambangkan dalam  bilangan dan dalam keterhubungan angka-angka. Semboyan Phytagoras yang sangat terkenal ialah Panta Aritmos yang bearti “segala sesuatu adalah bilangan”.
Plato berpendapat bahwa geometri adalah kunci untuk meraihpengetahuan dan kebenaran filasati. Menurut Plato, ada suatu “dunia” yang disebutnyas “dunia ide”, yang dirancang secara matematis. Segala sesuatu yang dapat dipahami lewat indra, hanyalah sesuatu representasi tidak semurna “dunia ide” tersebut.
Prinsip pertama dan utama matematika saat itu ialah abstrak karena bagi para filsuf Yunani yang mengembangkan matematika, kebenaran padahakikatnya hanya bersangkut paut dengan suatu entenitas permanen dan suatu keterhubungan dan suatu ketertalian yang tidak berubah-ubah. Dengan demikian, jelas bahwa sejak semula matematika  bukan hanya sebagai alat bagi pemahaman filsafati, melainkan juga kerupakan bagian daripemikiran filsafati itu sendiri.
Pada masa kini filsafat matematika lebih mengeraskan titik tumpunya pada studi tentang konsep-konsep matematika, hakikat matematika (termasuk ciri-ciri dan karateristiknya), prinsip-prinsip serta justifikasi prinsip-prinsip yang digunakan dalam matematika, dan landasan matematika (fondations of matematichs).
Ada pula suara yang terdengar dar kalangan para ahli matematika yang mengaharapkan agar para filsuf dapat berbuat lebih banyak dengan menjadikan filsafat matematika sebagai penyusun, penghimpun, dan penertib ilmu matematika yang dianggap telah berkeping-keping dan kacau balau selama berabad-abad.

Metode dan Filsafat

istilah metode berasal dari kata Yunani emethodeuo yang berarti mengikuti jejak atau mengusut, menyelidiki dan meneliti yang berasal dari kata e - methodos dari akar kata     e- meta (dengan) dan - hodos (jalan). Dalam hubungan dengan suatu upaya yang bersifat ilmiah. Metode berarti cara kerja yang teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu obyek yang dipermasalahkan, yang merupakan sasaran dari bidang tertentu.
Metode tidak sekedar menyusun dan menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang terpisah-pisah , melainkan juga merupakan alat paling utama dalam proses dan perkembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal suatu penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan . metode yang tepat dan benar akan menjamin kebenaran yang diraih.
Oleh karena itu, setiap cabang ilmu pengetahuan harus mengembangkan metodologi yang sesuai dengan objek studi ilmu pengetahuan itu sendiri. Ini merupakan suatu keharusan karena sesungguhnya tidak ada satu metode yang cocok digunakan bagi semua bidang ilmu pengetahuan.
Sehubungan dengan itu, Fuad Hassan dan Koentjaraningrat memperingatkan :
            “ ……bahwa sesuatu metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek studi; kecenderungan untuk menempuh jalan sebaliknya (yaitu untuk mencocok-cocokan objek studi dengan metodik yang asal-asal saja) sesungguhnya keliru. Catatan ini ditambahkan di sini khususnya karena adanya kecenderungan yang kuat  untuk mengagungkan kuantifikasi terhadap berbagai  gejala yang sesungguhnya sukar diukur.”
Denagn demikian, setiap disiplin ilmu seyogyanya memiliki metode sendiri. Filsafat pun memiliki metode sendiri, namun harus segera ditegaskan pula bahwa filsafat sesungguhnya tidak memiliki metode tunggal yang digunakan oleh semua filsuf sejak zaman purba hingga sekarang ini. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pada bidang filsafat, jumlah filsafat- demikian pula jumlah metode filsafatnya – adalah sebanyak jumlah filsufnya. Dengan kata lain, sangat banyak metode filsafat yang digunakan oleh para filsuf dari dahulu sampai sekarang ini.
Metode-metode filsafat yang dibicarakan berikut ini adalah metode-metode yang pernah dikembangkan sepanjang sejarah filsafat, teristimewa yang memiliki pengaruh cukup kuat bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Metode Zeno
Reductio ad Absurdum
Zeno adalah seorang murid Parmenides yang termahsyur, yang terkenal sebagai filsuf metafisika Barat yang pertama. Zeno lahir di Elea pada tahun 490 SM. Ia sangat cerdas dan kecerdasannya begitu mengagumkan banyak orang, termasuk para penguasa, sehingga, sama seperti gurunya, ia memiliki pengaruh besar dalam kehidupan politik kota Elea. Sejak usia muda. Ia telah menulis buku-buku yang terkenal, tetapi sayang semuanya telah hilang. Kemasyurannya bukan hanya diakui oleh Plato, melainkan juga oleh Aristoteles, murid Plato yang hidup sekitar seratus tahun sesudah Zeno. Aristoteles mengatakan bahwa dialektika, selaku cabang logika yang mempersoalkan argumentasi berdasarkan hipotesis yang dikemukakan oleh lawan bicara, sesungguhnya ditemukan oleh Zeno. Memang Zeno dikenal sebagai seorang pemikir jenius yang berhasil mengembangkan metode untuk meraih kebenaran, dengan membuktikan kesalahan premis-premis lawan, yang caranya ialah mereduksikannya menjadi suatu kontradiksi sehingga konklusinya pun menjadi mustahil (reduction ad absurdum)
Zeno sependapat dengan Parmenides yang mengatakan bahwa realitas yang sesungguhnya di alam semesta ini hanya satu. Untuk mempertahankan monisme dari serangan pluralism, dengan metode reduction ad absurdum Zeno mengatakan bahwa seandainya ada banyak titik yang terdapat di antara titik A dan titik B, berarti kita juga harus mengakui adanya suatu jumlah tak terbatas karena akan senantiasa terdapat titik di antara titik-titik itu, dan demikian seterusnya. Jika banyaknya titik itu tak terbatas antara A dan B tidak mungkin dapat terlintasi. Akan tetapi, ternyata bahwa orang dapat berjalan dari A ke B dapat dilintasi , pastilah jarak A ke B itu tidak terbatas. Oleh karena itu, hipotesis semula, yang menyatakan bahwa ada banyak titik yang terdapat diantara titik A dan titik B adalah tidak benar. Jadi, jelas bahwa pluralitas itu absurd, tidak masuk akal dan mustahil.
Parmenides juga pernah mengatakan bahwa tidak ada ruang kosong, yang berarti bahwa yang ada tidak berada dalam ada yang lain karena yang ada senantiasa mengisi seluruh tempat. Untuk membuktikan kebenaran kata-kata gurunya itu, Zeno mengatakan bahwa seandainya ada ruang kosong yang lain itu berada pula dalam ruang kosong yang lain lagi dan demikian seterusnya hingga tak terbatas. Itu berarti bhawa akan senantiasa ada ruang di dalam ruang. Oleh karena itu, jika dikatakan yang ada berada dalam ada yang lain, jelaslah bahwa pernyataan itu tidak benar. Yang benar itu tidak mungkin berada dalam ruang kosong yang lain karena yang ada itu senantiasa mengisi seluruh tempat sehingga hipotesis yang mengatakan bahwa ruang kosong itu ada merupakan sesuatu yang absurd.
Parmenides pun pernah mengatakan bahwa jika ruang kosong itu tidak ada, berarti bahwa gerak pun tidak ada. Ini karena jika dikatakan bhawa gerak itu ada, berarti bahwa ruang kosong pun harus ada karena gerak hanya mungkin terjadi apabila ada ruang kosong. Untuk membuktikan kebenaran ajaran gurunya itu, Zeno mengemukakan empat contoh sebagai berikut.

1.      Dikotomi paradox.
Zeno mengatakan bahwa apabila ada ruang kosong yang membuat suatu jarak tertentu, sesumgguhnya jarak itu tak terbatas. Jarak itu tak terbatas karena dapat dibagi lagi ke dalam jarak-jarak tertentu yang juga tak terbatas jumlahnya karena jarak-jarak tertentu itu pun masih dapat dibagi lagi ke dalam titik-titik yang tidak ada habisnya. Jika memang ada gerak, pelaku gerak yang hendak menempuh suatu jarak terlebih dahulu harus menempuh setengah jarak dari jarak itu hingga ke titik-titik yang tak terbatas, sehingga tentu saja si pelaku gerak itu takkan pernah sampai di garis akhir dari jarak yang hendak ditempuhnya. Jika demikian, sesungguhnya gerak itu merupakan sesuatu yang absurd.

2.      Akhilles si Juara lari.
Apabila Akhilles, si juara lari dalam mitologi Yunani, hendak bertanding lari dengan seekor kura-kura yang ditempatkan dalam jarak tertentu di depan Akhiklles, kendati Akhilles dapat berlari bagaikan kilat, ia tidak akan pernah dapat menyusul, apalagi melewati si kura-kura itu. Kura-kura itu akan senantiasa berada di depan Akhilles. Karena seandainya Akhiles dapat mengayunkan dua puluh langkah ketika kura-kura mengayunkan satu langkah, maka sesudah Akhilles mengayuinkan dua puluh langkah, si kura-kura telah berada satu langkah di depan Akhilles. Jikalau Akhilles terus maju dua puluh langkah lagi, si kura-kura sudah berada seperdua puluh langkah di depan Akhilles dan demikian seterusnya sampai tak terhingga. Jadi, Akhilles tidak akan pernah dapat mengejar kura-kura itu. Dengan demikian, gerak itu merupakan sesuatu yang absurd.

3.      Anak panah.
Apabila sebuah anak panah dilemparkan dari busurnya, apakah benar anak panah itu bergerak? Yang terjadi ialah bahwa pada setiap saat anak panah itu berada di tempat anak panah itu sedang berada. Di setiap tempat anak panah itu berada, sesungguhnya anak panah itu sedang berhenti dan diam di situ. Jadi, jelas bahwa setiap saat anak panah itu berada dalam keadaan diam. Apakah berdiamnya anak panah di setiap tempat tertentu merupakan suatu gerak? Jika benar demikian, apa yang disebut gerak itu tidak lain daripada rangkaian diam di tempat. Lalu, benarkah yang diam itu bergerak? Oleh karena itu, sesungguhnya gerak merupakan sesuatu yang absurd.

4.      Benda yang bergerak bertentangan.
Kondisi ini terjadi apabila dua benda padat yang sangat kecil memiliki ukuran sama dan bergerak dalam kecepatan sama dengan arah yang saling bertentangan; di samping itu, ada lagi benda yang sama berada dalam keadaan diam. Kedua benda yang bergerak itu akan saling berpapasan dalam waktu yang lebih singkat daripada unit waktu minimum tersebut. Akan tetapi, kedua-duanya merupakan unit waktu yang minimum sehingga dapat disimpulkan bahwa yang setengah sama dengan satu. Oleh sebab itu, gerak adalah sesuatu yang absurd.
Metode Zeno memberi nilai bagi filsafat karena memang tidak satupun pernyataan yang melahirkan pertentangan dapat dianggap benar. Hukum tiada pertentangannon (the law of contradiction)  merupakan salah satu prinsip fundamental dalam logika. Metode yang dikembangkan oleh Zeno sangat berguna dalam suatu perdebatan karena dengan metode itu ia telah memberi dasar yang kokoh bagi argumentasi-argumentasi yang rasional dan logis. Zeno juga dikenal sebagai orang pertama yang menggunakan metode dialektik, dalam arti mencari kebenaran lewat perdebatan atau bersoal jawab secara sistematis.




22
Metode sokrates:
Maieutik Dialektis Kritis Induktif

 Kendati sokrates (470-399 SM) di anggap sebagai salah seorang filsuf besar sepanjang zaman, pada kenyataanya ia tidak pernah menulis sesuatu apapun juga sehingga tidak seorang pun dapat memaparkan  sokrater berdasarkan hasil karya tulisnya sendiri. sokrates hanya di kenal lewat berbabagai karya tulis murid-muridnya, yakni Aristophanes, Xenophon, plalo dan karya tulis murid plato, Aristoteles. Ajaran-ajaran dan pandangan Sokrates yang di tampilkan oleh keempat orang, itupun tak begitu jelas dan tidak  lengkap.

   Ada beberapa ahli yang menerapkan bahwa tulisan-tulisan Xenophon tentang tes dapat di jadikan sumber informsi utama, namun ada juga yang mengatakan bahwa tilisan-tulisan plato dan Aristoteles adalah sumber  utama yang paling dapat di andalkan  untuk mengenal sokrates . saat ini pada umumnya para ahli menggunakan keempat sumber  yang tersedia itu, namun ada kesepakatan bersama yang menunjukkan bahwa pemikiran-pemikiran sokrates hampir lengkap di temukan lewat berbagai karya tulis Plato, teristimewa dalam dialog-dialog,yang pertama, yang di sebut sebagai di alog-dialog  Sokratis, dari di alog-di alog tersebut memang harus di akui bahwa betapa sulitnya membedakan namayang merupakan gagasan pemikiran Sokrates sulitnya membedakan mana yang merupakan  gagasan dan pemikiran Plato. yang jelas adalah Plato yang begitu mengagumi Sokrates. hendak mengabadikan gurunya itu lewat di alog-dialognya sehingga lewat dialog-dialognya yang pertama Plato berupaya menampilkan Sokrates. baru kemudian  dalam di alog-dialog  yang di tulisnya pada usia yang lebih lanjut, Plato mulai memgembangkan gagasan dan pemikirannya sendiri.
Lewat berbagai karya berbagai karya  tulis Plato, yang terlihat jelas ialah pemikiran-pemikiran Sokrates berpusat kepada manusia. Dengan kata lain,  manusaia menjadi titik perhatian paling utama dalam filsafat Sokrates.. sambil menempatkan manusia di pusat filsafatnya. Sokrates berangkat dari kehidupan sehari-hari yang konkret. dari  kehidupan itu sokrates berupaya  mengapai kebenaran objetif. Sokrates menolak subjektivisme dan relativisme  dari kaum sofis yang menyebabkan  timbulnya skeptisisme. bagi Sokrates kebenaran objektif yang hendak di gapai bukanlah semata-mata untuk membajikan karena, menurut Sokrates, filsafat adalah upaya untuk mencapai kebajikan. kebajikan itu harus tampak lewat tingkah laku manusia yang pantas, yang baik dan terpuji. kebajikan mengantar manusia kegerbang kebahagiaan sejati. secara ringkas dapat di katakan bahwa barang siapa mengetahui dan oleh sebab itu memiliki kebenaran objektif dan bertingkah laku sesuai dengan kebenaran objektif itu, merekalah yang dapat mengecap kebahagiaan sesungguhnya.
            Untuk mengapai kebenaran objektif itu,Sokrates menggunakan suatu metode  yang di landaskan pada suatu keyakinan yang amat erat di gengamnya. Sokrates begitu yakin bahwa pengetahuan akan kebenaran objektif itu tersimpan dalam setiap jiwa seseorang sejak masa praeksistensinya. karena itu, Sokrates  tidak pernah mengajar tentang kebenaran itu, melainkan berupaya menolong untuk mengungkapkan apa yang memang ada dan tersimpan di dalam jiwa seseorang. Sokrates mengatakan bahwa seperti apa yang di lakukan oleh ibunya., yang seringa menolong orang melahirkan ( ibunya seorang bidan ), demikainlah pula yang di lakukannya. ia menolong orang untuk melahirkan pengetahuan akan kebenaran yang di kandung oleh jiwanya. Sokrates merasa terpanggil untuk melakukan tugas yang mirip. dengan tugas ibunya, maka cara yang di gunakanpun di sebutnya maieutika tekhne ( teknik kebidanan ).
            Sokrates mempraktekan teknik kebidanan itu lewat percakapan. Sokrates senantiasa  menggunakan setiap kesempatan untuk berdialog dengan siapa saja yang berjumpa dengan dia. lewat percakapan dengan demikian itulah ia melihat dengan jelas adanya kebenaran- kebenaran individual yang ternyata bersifat universal. dengan demikian, ia telah memperkokoh dasar berfikir induktif  yang kemudian akan di kembangkan oleh para pemikir lainnya.
            Dalam dialog-dialog yang di lakukannya, Sokrates melibatkan diri secara aktif dengan menggunakan argumentasi rasional yang di dukung oleh anilisis yang cermat tentang apa saja., dalam menunjukan perbedaan, pertentangan, penolakan, menyaring, membersihkan, serta menjelaskan keyakianan dan pendapat demi lahirny kebenaran objektif. lewat dialog-dialog kritis serupa itulah, Sokrates berupaya menggiring orang untuk menemukan kebenaran yang  sesungguhnya.
            Karena Sokrates selalu mengajak orang untuk bercakap-cakap, metode yang digunakannya itu disebut metode dialektik. istilah dialektika berasal dari kata kerja Yunani dialegesthai, yang berati bercakap-cakap . kata  dialegtik dalam ungkapan “metode intergorasi” ( interrogation method ). kendati metode dialektik bukanlah ciptaan Sokrates, dapat dikatakan bahwa sokrateslah yang mempraktekan dan menegembangkan metode tersebut dengan baik.

23
Metode Plato: Deduktif Spekulatif Transendental
            Sebenarnya dapat dikatakan bahwa metode Sokrates adalah juga metode Plato. Akan tetapi, cukup banyak ahli yang menganggap bahwa Plato jauh melampaui Sokrates dalam berfilsafat. Memang, Plato ingin mengabadikan gagasan dan pemikirannya yang amat di kasihinya, tetapi tidak berati bahwa Plato tidak memiliki gagasan dan pemikirannya sendiri. yang pasti Sokrates adalah Sokrates, dan Plato adalah Plato.
            Jika Sokrates memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan manusia, khususnya masalah-masalah etis, Plato justru memusatkan perhatiannya pada bidang yang amat luas, yaitu mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang diminatinya itu, eksaktalah bidang ilmu yang memperoleh tempat istimewa. karena itu tidak heranlah apabila Plato telah ikut serta meletakan dasar bagi penalaran deduktif yang terlihat jelas lewat argumentasi-argumentasi deduktif yang cermat dan sistematis.
            Pada umumnya para ahli membagi dialog-dialog Plato kedalam tiga periode:
1. periode dialog-dialog awal, di sebut sebagai periode penyeledikkan ( inquiry )
2. periode dialog-dialog pertengahan, di sebut juga sebagai periode spekulasi/ pemikiran ( speculation );
3. periode dialog-dialog akhir, disebut juga sebagai periode kritisisme, penilaian, dan aplikasi (criticism, appraisal, and application).
            Dalam diaolog-dialog awal, khusunya Hippias, Gorgias, Protogoras, Euthy demus, Meno ,Minor ,dan Cleittophon, Plato menyanggah para sofis yang menolak spekulasi, sains, teori etika, dan tradisi.
            Dalam diaolog-dialog pertengahan terlihat berkembang suatu filsafat sistematis. hasil pemikiran-pemikiran yang begitu absrtak melahirkan teori-teori yang di tuangkan kedalam enam pokok yaitu;
1. teori tentang bentuk-bentuk (the theory of forms), yang dikenal juga sebagai teori tentang ide-ide;
2. sifat cinta (the method of love)
3. metode dialektika (the method of dialectic);
4, bentuk atau ide tentang kebaikan ( the from of good);
5. sifat jiwa (the nature of soul)
6. masyarakat ideal (the ideal society)
Memperhatikan keenam materi teori tersebut diatas, tepatlah apabila di katakan bahwa periode dialog-dialog pertengahan disebut sebagai periode spekulasi.
            Adapun dialog-dialog pada pada periode merupakan suatu akhir merupakan suatu upaya untuk mengaplikasikan secara rinci sistem spekulatif yang agung itu (detailed application of the great speculative system).
 inti dan dasar seluruh filsafat Plato ialah ajaran tentang ide-ide. Plato percaya bahwa ide yang tertangkap oleh pikiran lebih nyata dari pada objek-objek material yang terlihat oleh mata. keberadaan, bunga, pahon, burung, manusia dan sebagainya bisa berubah-ubah dan akan berakhir , adapun ide tentang bunga, pohon, manusia dan sebagainya tidak akan berubah-ubah dan kekal adanya. karena itu hanya ide yang merupakan realitas yang sesungguhnya dan abadi. Dunia indrawi adalah suatu realitas yang tidak tetap dan berubah-ubah, dan itulah yang dialami oleh manusia  hic et nunc . Adapun dunia ide adalah suatu realitas yang tidak bisa dilihat, dirasa dan didengar, dunia yang benar-benar objektif dan berada di luar pengalaman manusia. apa yang disebut pengetahuan sebenarnya hanya merupakan ingatan terhadap apa yang telah diketahuinya di dunia ide – konon sebelum berada di dunia indrawi, manusia pernah berdiam di dunia ide. jelas bahwa dunia ide tampak, dan keberadaannya terlepas dari dunia indrawi. karena itu, sistem pemikiran Plato bersifat transendental. kerena itu pula secara menyeluruh dapat didikatakan Plato bersifat transendental. karena itu pula, secara menyeluruh dapat dikatakan bahwa metode filsafat Plato adalah metode deduktif spekulatif trasendental.

Metode Aristoteles: Silogistis Deduktif
Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru. Kedua metode itu di sebut metode induktif dan deduktif. Induksi (epagogi) ialah cara menarik konklusi yang bersifat umum dari hal-hal yang khusus. Adapun deduksi (apodiktik) ialah cara menarik konklusi berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tidak diragukan, yang bertolak dari sifat umum ke khusus. Induksi berangkat dari pengamatan dan pengetahuan indrawi yang berdasarkan pengalaman, sedangkan deduksi sebaliknya terlepas dari pengamatan dan pengetahuan indrawi yang berdasarkan pengalaman itu.
Sebenarnya, Aristoteles menerima baik deduksi maupun deduksi. Akan tetapi, karena di kenal sebagai filsuf Barat pertama yang secara rinci dan sistematis menyusun ketentuan-ketentuan dalam penalaran deduktif, ia senantiasa dihubungkan dengan penalaran deduktif.
Baik deduksi maupun induksi dipaparkan oleh Aristoteles di dalam logika. Tidak dapat disangkal bahwa logika adalah salah satu karya filsafati besar yang di hasilkan oleh Aristoteles, yang menyebabkan ia sering disebut sebagai pelopor, penemu, atau bapak logika kendati itu tidak berarti sebelum Aristoteles belum ada logika.
Sebenarnya, istilah logika tidak pernah digunakan oleh Aristoteles. Untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi-proposisi yang benar, dipakainya istilah analitika. Adapun untuk meneliti argumentasi-argumentasi yang bertolak dari proposisi-proposisi yang diragukan kebenarannya, dipakainya istilah dialektika. Istilah logika dalam arti sebagaimana yang kita kenal pada masa kini mulai digunakan oleh Alexander Aphrodisias pada awal abad ke-3 SM.
Inti logika adalah silogisme, dan silogisme sebagai suatu alat dan mekanisme penalaran untuk menarik konklusi yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah suatu bentuk formal dari penalaran deduktif. Bagi Aristoteles, deduksi merupakan metode terbaik untuk memperoleh konklusi demi meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Itulah sebabnya mengapa metode Aristoteles disebut metode silogistis deduktif.
Silogisme adalah penemuan Aristoteles yang murni dan terbesar dalam logika. Aristoteles tidak menggunakan silogisme semata-mata untuk menyusun argumentasi-argumentasi bagi suatu perdebatan, namun terutama sebagai metode dasar bagi pengembangan suatu bidang ilmu pengetahuan. Karena itu, Aristoteles tidak memasukkan logika kedalam salah satu kelompok dari ketiga kelompok menurut pembagian ilmu pengetahuan yang di susunnya.
Silogisme, sebagai bentuk formal dari deduksi, terdiri atas tiga proposisi. Proposisi pertama dan proposisi kedua disebut premis, sedangkan proposisi ketiga merupakan konklusi yang ditarik dari proposisi pertama dengan bantuan proposisi kedua. Jadi, setiap silogisme terdiri atas dua premis dan satu konklusi. Tiap-tiap proposisi itu harus memiliki dua term. Jadi, setiap silogisme haruslah memiliki enam term. Akan tetapi, karena setiap term dalam satu silogisme senantiasa disebut dua kali, sebenarnya dalam setiap silogisme hanya ada tiga term. Apabila proposisi yang ketiga, yaitu proposisi yang di sebut konklusi, diperhatikan dengan saksama, pada proposisi ketiga itu terdapat dua term dari ketiga term yang di sebut tadi. Yang menjadi subyek konklusi disebut term minor, dan yang menjadi predikat konklusi disebut term mayor. Term yang terdapat pada kedua proposisi di sebut term tengah (terminus medius).
Berikut ini sebuah contoh silogisme:
Semua anjing adalah hewan berkaki empat.                          (umum/universal)
Si hitam adalah seekor anjing.                                                            Khusus/partikular)
Si hitam adalah hewan berkaki empat. 

Pola kerja yang ditempuh dalam penalaran silogistis-deduktif adalah sebagai berikut. Pertama-tama, ditetapkan suatu kebenaran universal dan kemudian menjabarkannya pada hal-hal yang kusus. Dengan kata lain, sesudah suatu ketentuan umum yang ditetapkan, barulah kemudian berdasarkan ketentuan umum itu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus atas kasus tertentu.
Immanuel Kant mengatakan bahwa logika yang diciptakan oleh Aristoteles sejak semula tidak begitu sempurna sehingga tidak mungkin bertambah sedikit pun. Kendti demikian , perlu juga diperhatikan kecaman Betrand Russell yang menyatakan:
“Aristoteles bersikeras mengatakan bahwa wanita mempunyai gigi yang lebih sedikit daripada pria, padahal kendati dia pernah dua kali kawin, tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menguji pendapatnya dengan meneliti mulut istri-istrinya itu.”
Tentu saja itu tidak berarti mengecilkan jasa Aristoteles yang harus dilakui memang luar biasa bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Metode Plotinos: Kontemplatif-Mistis
Plotinos (205-270) adalah seorang filsuf Neoplatonis. Bahkan sesungguhnya Plotinoslah yang mendirikan neoplatonisme dan sekaligus merupakan tokoh pemikir neoplatonisme yang terbesar. Plotinos lahir di Mesir dan sejak tahun 231 sampai 242 belajar filsafat pada Ammonius Sakkas. Kemudian, pada tahun 245 Plotinos mulai mengajar filsafat diRoma sampai pada tahun 268. Karya-karyanya ditulis sejak tahun 253 sampai 270, yang meliputi semua cabang filsafat kecuali politik. Karya-karya tulisnya itu kemudian diterbitkan oleh muridnya, Porphyrios, yang menyusunnya menjadi enam buah buku, dan setiap buku terdiri dari sembilan bab. Oleh sebab itu, bentuk yang digunakan Porphyrios untuk menerbitkan karya tulis gurunya disebut Enneades (enna=9)
Filsafat Plotinos didasarkan pada ajaran Plato, khususnya mengenai ide kebaikan selaku ide yang tertinggi dalam dunia ide Plato, yang juga menjadi sumber dan dasar segala ide yang lain. Karena Plotinos menggunakan istilah-istilah dan mengembangkan dasar-dasar pemikiran Plato, filsafat Plotinos disebt neoplatonisme. Akan tetapi, tidak berarti Plotinos hanya mengenal filsafat Plato. Plotinos telah mempelajari seluruh filsafat yang sudah ada dan yang sedang berkembang pada masa itu, bahkan sesungguhnya filsafat Plotinos merupakan sintesis dari semua fisafat yang mendahuluinya kendati memang terlihat dengan jelas bahwa pengaruh Platonisme sangat dominan.
Ide kebaikan atau yang sangat baik, selaku ide tertinggi bagi Plato, oleh Plotinos di sebut     to en ( to hen) (yang esa/the one). Yang esa itu ialah yang awal atau yang pertama, yang paling baik, yang paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa itu tidak dapat dikenal oleh manusia karena ia tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga.  Yang esa itu adalah pusat daya dan pusat kekuatan. Seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat suatu proses mengalir keluar atau pancaran. Proses mengalir keluar atau pancaran itu disebut emanasi. To hen itu bagaikan matahari yang memancarkan sinarnya, dan pemancaran sinar itulah yang serupa dengan proses emanasi. Kendati telah terjadi proses emanasi, yang esa itu tidak pernah berkurang atau berubah. Yang esa itu tidak pernah terpengaruh oleh proses emanasi.
Menurut Plotinos, dalam proses emanasi yang pertama mengalir keluar dari yang esa itu ialah nouj    (nous). Nous sangat sulit diterjemahkan. Ada yang menerjemahkannya dengan budi, ada pula yang menyebutnya akal, dan ada juga yang menyebutnya roh. Nous itu berada paling dekat dengan to hen. Nous merupakan gambaran atau bayang-bayang dari to hen.
Kemudian, dari nous mengalir keluar sesuatu yang oleh Plotinos disebut psykhe atau jiwa. Psykhe merupakan sesuatu yang memiliki tingkat lebih rendah daripada nous. Psykhe berada diperbatasan antara nous dan materi. Oleh sebab itu, dapat juga dikatakan bahwa psykhe merupakan penghubung antara nous yang terang dan materi yang gelap., atau penghubung antara roh dan materi sehingga dapat pula dikatakan bahwa psykhe adalah penghubung dan penggabungan antara yang rohani dengan yang jasmani.
Psykhe kemudian di susun oleh me on (materi/zat) sebagai pengaliran lingkaran ketiga. Akan tetapi, menurut Plotinos, me on itu hanya merupakan suatu potensi atau suatu kemungkinan bagi perwujudan suatu keberadaan dalam suatu bentuk. Kemudian, psykhe manusia bertemu dengan materi, lalu melahirkan suatu tubuh, yang pada hakikatnya berlawanan dengan nous dan dengan to hen.
Tentu saja hal itu merupakan penyimpanan dari yang semestinya. Penyimpangan dari yang semestinya itu berarti penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus kembali ke to hen dan menyatu dengannya. Itulah yang harus menjadi tujuan hidup manusia. Jika oleh proses emanasi, manusia meninggalkan terang yang mutlak dan masuk kedalam kegelapan yang mutlak, maka untuk mencapai kebebaran manusia harus menempuh jalan sebaliknya, yaitu meninggalkan kegelapan yang mutlak, lalu berjalan menuju terang yang mutlak.
Bagi Plotinos, kesatuan mistis dengan to hen merupakan kebenaran sejati. Agar kesatuan mistis itu dapat terwujud, manusia harus berani berfikir tanpa berorientasi pada hal-hal indrawi. Manusia harus berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang indrawi yang merupakan penghambat dalam upaya pembebasan dari keterikatan dengan materi yang gelap. Lewat kontemplasi, jiwa manusia akan semakin dibersihkan, dan itu merupakan prasyarat bagi tercapainya kesatuan mistis dengan to hen.
Filsafat Plotinos merupakan suatu sistem yang hendak menjelaskan asal mula dan tujuan seluruh realitas, termasuk manusia. Oleh sebab itu, filsafatnya bukan hanya merupakan suatu doktrin, melainkan juga merupakan suatu way of life. Filsafat Plotinos merupakan jalan pembebasan dari keterikatan dengan materi yang merupakan penyimpangan dan kebenaran, menuju kesatuan mistis dengan to hen yang adalah kebaikan dan kebenaran mutlak, lewat kontemplasi. Karena itu, metode Plotinos disebut metode kontemplatif mistis.
26
Metode Descartes
Skeptis

Rene Descartes (1596-1650) adalah seorang ahli matematika, saintis dan filsuf Prancis yang terkenal sebagai tokoh besar dalam filsafat modern dan sebagai peletak dasar rasionalisme. Rene Descartes (dalam bahasa Latin: Renatus Cartesius) lahir di La Haye, Prancis pada tanggal 31 maret 1596. Semula ia belajar di La Jesuit College. Di situ ia belajar filsafat yang didasarkan pada pemikran-pemikiran Francisco Suarez, yang akhirnya tidak di sukainya. Sesudah menyelesaikan pendidikannya di La Pleche, ia melanjutkan studi di bidang hukum pada tahun 1616.
Dalam bidang matematika, Descartes sangat terkenal karena berhasil mengembangkan geometris analitis (analitycal geometri). Sejak zaman Yunani purba, matematika telah terbagi ke dalam dua bagian yang begitu terpisah satu sama lain yaitu aritmatika, yang mempelajari kwantitas yang berbeda dan dinyatakan lewat angka-angka, dan geometri, yang mempelajari kuantitas bersikenambungan yang di nyatakan lewat garis-garis dan bilangan. Descartes memadukan keduanya dengan menggunakan rumus-rumus aljabar yang kemudian di kenal sebagai Cartesian Coordinates (Koordinat Kartesian.
Pengembaraannya di bidang filsafat diawalanya dengan suatu kebingungan. Filsafat dianggapnya begitu simpang siur dan penuh dengan pertentangan antara berbagai aliran pemikiran dengan metodenya masing-masing, tidak sistematis, dan menghambat ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, ia merasa terpanggil untuk menyusun suatu ilmu induk untuk mengatasi seluruh ilmu pengetahuan dengan suatu yang bersifat umum dan cocok digunakan di segala bidang ilmu, baik sains maupun filsafat. Bagi Descartes, logika Aristoteles tidak bermanfaat karena lewat logika yang demikian itu tidak akan tercapai suatu pengetahuan baru padahal justru pengetahuan baru yang bersifat universal sangat diperlukan untuk menyingkirkan segala ketidakpastian pemikiran pada masa itu. Karena itu, Descartes berupaya melepaskan diri dari segala gagasan filsafati dan ilmu pengetahuan dengan metode baru yang benar-benar tepat dan berdaya guna.
Karya besar Decartes dalam bidang filsafat adalah yang tertuang dalam karya tulisnya yang berjudul Discours om method (1637) dan Meditations (1642). Kedua karya tulisnya itu saling tumpang tindih, maka seyogianya tidak perlu di pisahkan.
Kedua buku tersebut diawali dengan penjelasan tentang metode kesangsian Kartesian (the method of Cartesian doubt). Suatu pengetahuan baru yang didambakan oleh Descartes adalah suatu pengetahuan  yang kebenarannya tidak dapat diragukan. Pengetahuan yang benar itu haruslah berangkat dari suatu kepastian. Ini karena, bagi Descartes, di suatu tempat harus ada suatu titik yang sedikitpun tidak perlu disangsikan lagi. Dari titik itulah segala-galanya menjadi pasti, dan itulah yang menjadi dasar pengetahuan. Kepastian itu harus tidak besyarat dan tidak bergantung dari hal-hal yang dipelajari dan dialami karena segala sesuatu yang dipelajari dan dialami sewaktu-waktu dapat berubah dan yang berubah-ubah itu tidak pasti. Kebenaran yang sanggup membentuk pengetahuan baru yang pantas menjadi ilmu induk yang mengatasi seluruh ilmu pengetahuan haruslah bertitik pangkal pada suatu yang kepastiannya benar-benar tidak dapat disangsikan.
Untuk memastikan bahwa sesuatu yang ada benar-benar ada dan bukan hanya khayalan dan impian, maka segala sesuatu harus disangsikan lebih dahulu. Demikian pula, segala tuntutan tentang kebenaran yang selama itu telah diterima sebagai kebenatan haruslah diragukan kebenarannya. Apabila lewat kesangsian yang begitu radikal ada suatu kebenaran yang sanggup bertahan sehingga tidak mungkin lagi diraguakn lagi kebenarnnya, maka kebanran itu adalah kebenaran yang pasti, yang harus menjadi kebenaran filsafat yang pertama dan terutama (primum philosophicum).
Setelah menyangsikan segala sesuatu, Descartes menemukan bahwa ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu saya yang sedang menyangsikan segala sesuatu, sedang berpikir, dan jika saya sedang berpikir itu berarti tidak dapat diragukan lagi bahwa saya pasti ada. Ini karena tidak mungkin yang tidak ada dapat berpikir dan dapat menyangsikan sesuatu. Karna itu, dengan yakin Descartes berkata “ je pense, donc je suia” (aku berpikir maka aku ada) yang terkenal dalam terjemahan bahasa Latin: cogito ergo sum. Bagi Descartes, manusia harus menjadi titik berangkat dari pemikiran yang pasti itu, rasio harus berperan semaksimal mungkin.
Pada hakikatnya, metode Descartes sangat rasionalistis. Pertama-tama, dengan analisis konseptual diidentifikasikan lebih dahulu elemen-elemen sederhana (yang rumit untuk direduksi menjadi sederhana lebih dahulu). Kemudian, disintesisasikan suatu pemahaman struktur realistis dengan memahami hubungan-hubungan yang perlu yang di dalamnya elemen-elemen tersebut harus berdiri satu dengan yang lainnya. Aplikasi metode ini ialah mendesak ketidakpastian hingga ke batas yang paling akhir dengan membuat keterangan atau fakta yang menopang keyakinan-keyakinan yang telah diterima selama itu menjadi sasaran kritik yang paling tidak kenal kompromi dan menangguhkan setiap pendapat kendati sangat masuk akal tetapi sedikit banyaknya mengandung sesuatu yang secara rasional meragukan.
Perlu ditegaskan bahwa Descartes bukanlah penganut skeptisisme yang menyangsikan segala-galanya dan mengatakan bahwa sesungguhnya apa yang dinamakan pengetahuan itu tidak ada. Kesangsian Descartes hanyalah kesangsian metodis belaka.
                            
METODE BACON: INDUKTIF

Francis Bacon (1561-1626) adalah seorang filsuf Inggris yang terkenal sebagai pelopor empirisme Inggris. Ia lahir pada 22 Januari di York House, Londom. Ayahnya, Lord Nicholas Bacon, adalah seorang pejabat tinggi Kerajaan Inggris. Pada usia 12 tahun, Francis Bacon telah belajar di Trinity College, Cambridge University. Setelah menyelesaiakn pendidikan di Cambridge, ia di angkat menjadi salah seorang staf kedutaan Inggris di Prancis. Pada usia 23 tahun ia telah diangkat menjadi anggota parlemen. Pada tahun1618, James I mengangkat Francis Bacon menjadi Lord Chancellor dan kemudian menjadi Viscount St. Albans.
Karya tulis Bacon yang telah terkenal ialah The Advancement of Learning, New Atlantis dan Novum Organum. Secara umum dapat dikatakan bahwa pandangan-pandangan Bacon bersifat praktis, konkret dan utilitaris (pratical, concrete and utilitarian). Bagi Bacon, untuk mengenal sifat-sifat segala sesuatu dibutuhkan penelitian yang empiris. Pengalamanlah yang menjadi dasar pengetahuan. Pengetahuan sangat penting dan sangat diperlukan oleh manusia karena hanya dengan pengetahuanlah manusia sanggup menaklukan alam kodrat. Olah karena itu, ungkapan Plato pengetahuan adalah kekuasaan ( knowledge is power) menjadi semboyan Bacon.
Pada bagian kedua bukunya yang berjudul Novum Organum, Bacon berupaya memperbaiki da menyempurnakan konsepsi mengenai metode-metode ilmiah yang telah dikenal. Bagi Bacon, logika sigolistis tradisional tidak sanggup menghasilkan penemuan-penemuan empiris. Ia mengatakan bahwa logika sigolistis tradisional hanya dapat membantu mewujudkan konsekuensi deduktif dari apa yang sebenarnya telah diketahui. Agar pengetahuan itu berkembang dan demi memperoleh pengetahuan yang benar-benar berguna, konkret dan praktis, metode deduktif harus ditinggalkan dan diganti dengan metode induktif.
Bacon berhasil menemukan metode induksi baru yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Metode induksi tradisional yang dikenal dengan nama induction by simple enumeration ( induksi melalui penjumlahan sederhana)tidak dapat di andalkan untuk meraih pengetahuan yang benar,. Induksi tradisional dapat di lukiskan sebagai berikut:
“ menurut sahibulhikayat, konon ada petugas sensus yang sedang mendaftarkan nama-nama di suatu desa di Welsh. Orang pertama yang didaftarkannya bernama William Williams, demikian pula yang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Sesudah sekian banyak yang didaftarkan, ia pun berpikir dalam hatinya bahwa membosankan pekerjaannya karena sudah jelas semua warga desa itu bernama William Williams. Karena itu, cukup mengjitung jumlah mereka sekalian dan sesudah itu ia boleh pergi berlibur. Tetapi sayang ia keliru karena ada seorang di antara mereka yang bernama John Jones.”
Bacon menegaskan bahwa kita tidak boleh menjadi sama seperti laba-laba yang memintal jaringnya dari apa yang ada di tubuhnya, atau seperti semut yang semata-mata hanya bias mengumpulkan, melainkan kita harus seperti lebah yang tahu mengumpulkan tetapi juga bagaimana menata. Metode sigolistis deduktif digambarkannya dengan laba-laba itu, dan metode induktif yang telah disempurnakannya sama dengan lebah yang tahu mengumpul dan menata.
Metode induktif yang dikembangkan oleh Bacon dapat diuraikan lewat contoh berikut ini:
“Bacon ingin mengetahui tentang sifat panas yang diduganya merupakan gerakan-gerakan tidak teratur yang cepat dari bagian-bagian kecil dari suatu benda. Ia lalu membuat daftar dari benda-benda yang memiliki tingkatan panas berbeda. Lewat penelitian dan penyelidikan yang saksama terhadap daftar dari masing-masing kelompok benda itu, ia berupaya menemukan karakteristik yang senantiasa hadir pada benda-benda panas, karakteristik yang tidak dapat pada benda-benda dingin, dan yang selalu ada pada benda-benda yang memiliki tingkatan panas yang berbeda. Dengan demikian, ia berharap akan berhasil menemukan suatu hokum yang berlaku umum tentang apa yang diselidikinya itu”.
Bacon memang bukan penemu metode induktif, namun ia berupaya memperbaiki dan menyempurnakan metode itu melalui pengkombinasian metode indukti tradisional denga eksperimentasi yang cermat demi meraih kebenaran ilmiah yang konkrit, praktis dan bermanfaat bagi manusia. Aristoteles sebenarnya telah melakukan penelitian dan observasi dengan metode induktif, namun kekurangan eksperimentasi. Bacon mengembangkan metode induktif baru, dengan observasi yang ekstensif dan eksperimen yang sistematis.