PENGANTAR FILSAFAT
OLEH:
Ev. DR Jonsa
Manullang, M.Th., M.Pd.K
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI GALILEA
2015
Pengertian dan Definisi Filsafat
Secara etimologi, istilah “filsafat” yang
merupakan padanan kata falsafah (bahasa
Arab) dan philosophy (bahasa Inggris), berasal dari bahasa Yunani filosofia
(philosophia). Kata philosiphia
merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata filos (philos) dan sofia
(Sophia). Kata filos berararti kekasih,
bisa juga berarti sahabat. Adapun sofia
berarti kebijaksanaan atau kearifan, bis juga berarti pengetahuan. Jadi sevara harfiah folosofia berarti yang
mencintai kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan. Oleh karena istilah filosofia telah d
Indonesiakan menjadi “filsafat”, seyogianya ajektivanya ialah “filsafati” dan
bukan “filosofis”. Apabila menace kepada
orangnya, kata yang tepat digunakan ialah ‘filsuf” dan bukan “filosof”. Kecuali bila digunakan kata “filosofi” dan
bukan filsafat, maka ajektivanya yang tepat ialah “filosofis”, sedangkan yang
mengacu kepada orangnya ialah kata “filosof”.
Menurut
tradisi kuno, istilah filosofia digunakan pertama kali oleh Phytagoras (sekitar
abad ke-5 SM). Ketika diajukan
pertanyaan apakah ia seorangb yang bijaksana, dengan rendah hati Pythagoras
menjawab bahwa ia hanyalaah filosofos, yakni orang yang mencintai
pengetahuan. Akan tetapi kebenaran kisah
itu sangat diragukan karena pribadi dan kegiatan Pythagoras telah bercampur
dengan berbagai legenda; bahkan, tahun kelahiran dan kematiannya pun tak
diketahui dengan pasti. Yang jelas, pada
Sokrates dan Plato, istilah filosofia dan filosofos sudah cukup popular.
Untuk
memahami apa sebenarnya filsafat itu, tentu saja tidak cukup hanya mengetahui
asal usul dan arti istilah yang digunakan, melainkan juga harus memperhatikan
konsep dan definisi yang diberikan oleh para filsuf menurut pemahaman mereka
masing-masing. Akan tetapi, perlu pula
dikatakan bahwa konsep dan definisi yang diberikan para filsufitu tidak sama,
bahkan dapat dikatakan bahwa setiap filsuf memiliki konsep dan membuat definisi
yang berbeda dengan filsuf lainnya.
Karena itu, ada yang mengatakan baha jumlah konsep dan definisi filsafat
adalah sebanyak jumlah filsuf itu sendiri.
Berikut ini, akan diketengahkan beberapa
konsep dan definisi yan kira-kiramemadai untuk memberi gambaran lebih jelas
tentang apakah filsafat itu.
Para
filsuf pra-Sokratik mempertanyakan tentang arkhe yakni awal atau asal mula alam
dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos, logos atau rasio tanpa
meminta bantuan mitos, mythos atau mitos.
Oleh sebab itu, bagi mereka, filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk
memahami hakikat alam dan realitas ada dengan mengandalkan akal budi.
Plato
memiliki berbagai gagasan tentang filsafat, antaralain Plato pernah mengatakan
bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli
dan murni. Selain itu, ia juga
mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-musabab dan
asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
Aristoteles
(murid Plato) juga memiliki beberapa gagasan mengenai filsafat. Antara lain, ia mengatakan bahwa filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan
penyebab-penyebab dari realitas yang ada.
Menurutnya filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupayamempelajari
“peri ada selaku peri ada” (being as being) atau “peri ada sebagaimana adanya”
(such as such).
Rene
Descartes, filsuf Prancis yang termashyur dengan argument je pense, donc je
suis, atau dalam bahasa Latin cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), yang
megatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal
penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.
Bagi
William James, flsuf Amerika yang terkenal sebagai tokoh pragmatism dan
pluralism, filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir
yang jelas dan terang. R.F. Beerling,
yang menjadi guru besar filsafat di Universitas Indonesia, dalam bukunya
Filsafat Dewasa Ini mengatakan bahwa filsafat “mmemajukan pertanyaan tentang
kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, prinsip dari kenyataan. Beerling juga mengatakan bahwa filsafat
adalah suatu usaha untuk mencapai radix, atau akar kenyataan dunia wujud, juga
akar pengetahuan tentang diri sendiri.
Konsep
atau gagasan dan definisi filsafat yang begitu banyak tidak perlu
membingnungkan, bahkan sebaliknya justru menunjukkan betapa luasnya samudera
filsafat itu sehingga tidak terbatasi oleh sejmlah batasan yang akan
mempersempit ruang gerak filsafat.
Perbedaan-perbnedaan itu sendiri merupakan suatu keharsan bagi filsafat
sebab kesamaan dan kesatuan pemikiran serta pandangan justru akan mmatikan dan
menguburkan filsafat untuk selama-lamanya.
KEGUNAAN FILSAFAT
Bagi ilmu
pengetahuan
Tatkalala
filsafat lahir dan
mulai tumbuh, ilmu pengetahuan
masih merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari
filsafat. Pada masa itu,
para pemikir yang
terkenal sebagai filsuf
adalah juga ilmuan.
Para filsuf pada
masa itu adalah
juga ahli – ahli matematika,astronomi, ilmu bumi, dan
sebagai ilmu pengetahuan
lainnya.bgi mereka ilmu
pengetahuan itu adalah
fisafat, dan filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang berjasa bagi
kehidupan manusia.
Cara
berpikir filsafati telah
mendobrak pintu serta
tembok –tembok tradisi dan
kebiasaan, bahkan telah
menguak mitos dan mite
serta telah meninggalkan
cara berpikir mistis.
Lalu pada saat
yang sama telah
berhasil meninggalkan cara
berpikir mitis. Lalu
pada saat yang sama
telah mengembangkan cara
sistematis,logis, kritis dan analitis.
Karena itu,ilmu
pengetahuanpun semakin bertumbuh
subur, terus berkembang, dan
menjadi dewasa.
kemudian, ilmu
pengatahuan yang telah
mencapai tingkat kedewasaan
penuh satu demi satu
mulai mandiri dan mulai
meninggalkan filsafat disebut
sebagai mater scientarum
atau induk segala
pengatahuan. Itu merupakan
fakta yang tidak dapat
diingkari, yang dengan
jelas menunjukan bahwa
ia telah benar- benar
menunjukan kegunaannya lewat
melahirkan,merawat, dan mendewasakan
berbagai ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan
dikatakan begitu berjasa bagi
kehidupan umat manusia
lewat ilmu pengetahuan
umat manusia telah
dimungkinkan menghasilkan yang
sangat menabjukan dalam
segala bidang kehidupan.
Teknologi canggih yang
semakin mencengangkan dan
fantasis merupakan salah
satu produk dari
ilmu pengetahuan. Abad – abad
terakhir ini, dalam
peradaban dan budaya
barat, ilmu pengatahuan
telah berperan sedemikian
rupa sehingga telah
menjadi tumpuan banyak
harapan orang.
Memang harus
diakui betapa pesatnya perkermbangan ilmu
pengetahuan sehingga manusia
mulai percaya bahwa
ilmu pengatahuan benar – benar
mahakuasa oleh berbagai penemuan
yang menggemparkannya dan
tampilnya teori – teori serta
metode - metode baru
yang lebih banyak. Manusia
semakin terpukau
oleh pesona ilmu
pengetahuan, dan hal
itu telah membuat
banyak orang mendewakan
ilmu pengetahuan. Bagi
mereka, ilmu pengetahuan
adalah segala – galanya. Mereka
berupaya juga untuk
meyakinkan semua orang
bahwa ilmu pengetahuan
dapat menyelesaikan segala
persoalan. Anggapan itu dikukuhkan
kegunaan ketepatannya sehingga
semakin mengembangkan suatu
optimisme yang
hampir tak
terbatas.
Kemajuan ilmu
pengetahuan yang amat mempesonakan
itu telah membuat
banyak orang yang
telah menjadi sinis
terhadap filsafat. Banyak orang
yang menganggap filsafat
sbagai benda antic
yang layak dipajang
dalam museum. Filsafat terlampau “ tua”untuk mengandung”dan melahirkan” suatu ilmu
pengatahuan baru. Filsafat
tak dapat menghasilkan
apapun juga,
sehinga sama sekali
tidak berguna lagi.
Benarkah ilmu
pengetahuan telah sanggup merengkuh
langit dan menguasai
alam semesta? Ternyata
itu hanya suatu
impian yang harus
dilepaskan tatkala menghadapi
kenyataan sesungguhnya. Fakta
menunjukan bahwa hasil – hasil
yang dapat dipengaruhi
oleh ilmu pendidikan bersifat
sementara, maka senantiasa
membutuhkan perbaikan dan
penyempurnaan. Senantiasa,
ada batas yang membatasi
ilmu pengetahuan. Jadi
ilmu pengetahuan senantiasa
dibatasi oleh bidang
penelitian yang sesuai
dengan kekhususannya, ilmu
pengetahuan hanya sanggup meneliti bagian -
bagian kecil, (sesuai
bidangnya) dari seluruh
realitas.
Disamping itu,
ilmu pengetahuan tidak
mempersoalkan asas dan
hakikat realitas. Pada
umumnya pengetahuan teristimewa
yang diketengahkan oleh
positivism cendrung lebih
bersifat kuantitatif. Karena
itu, pengetahuan tidak
sanggup menguji kebenaran
prinsip – prinsip yang menjadi
landasan ilmu pengetahun
itu sendiri.
Ilmu pengetahuan
membutuhkan bantuan dari
sesuatu yang bersifat
tak terbatas yang
sanggup menguji kebenaran
prinsip – prinsip yang melandasi ilmu
pengatahuan. Hal itu
hanya dapat dilakukan
oleh filsafat, sang
induk segala pengetahuan.
Filsafat adalah ilmu
yang tak terbatas
karena tidak hanya
manusia menyelidiki suatu
bidang tertentu dari
suatu realitas yang
tertentu saja. Filsafat
senantiasa mengajukan pertanyaan
tentang kenyataan yang
ada.
Filsafatpun selalu
mempersoalkan hakikat,
prinsip, dan azas
mengenai seluruh realitas
yang ada, bahkan
apa saja yang
dapat dipertanyakan, termasuk
filsafat itu sendiri.
Keterbatasan filsafat
yang demikian itulah yang
amat berguna bagi
ilmu pengetahuan. Yaitu
filsafat sanggup memeriksa, mengevaluasi, mengoreksi, dan lebih menggunakan
prinsip – prinsip dan asas – asas
yang melandasi ilmu
pengetahuan itu.
DALAM KEHIDUPAN
PRAKTIS
Filsafat memang
abstrak, namun tidak
berarti filsafat tidak
mempunyai hubungan apapun dengan
kehidupan sehari – hari yang
konkkret yang bukan
berarti fisafat tidak
mempunyai hubungan apapun juga
dengan kehidupan nyata
setiap hari.
Kendati tidak
mempuyai petunjuk praktis
tentang bagaimana bangunan
yang artistic dan
elok, filsafat sanggup
membantu manusia dengan
memberi pemahaman kepada
manusia tentang apa
itu artistic dan
elok, dalam kearsitektural sehingga
nilai keindahan yang
diperoleh lewat pemahaman
itu akan menjadi
patokan utama bagi
pelaksanaan pekerjaan pembangunan
tersebut.
Fisafat mengirin
manusia ke pengertian
yang terang dan
pemahaman yang jelas.
Kemudian, filsafat itu
juga menuntun manusia
ke tindakan dan perbuatan
yang konkret berdasarkan
pengertian yang terang
dan pemahaman yang
jelas.
PEMBAGIAN FILSAFAT
Seperti telah dikemukaan sebelumnya,
pada tahap awal kelahiran filsafat yang disebut filsafat itu sesungguhnya
mencakup seluruh ilmu pengetahuan. Kemudian, filsafat itu berkembang sedemikian
rupa menjadi semakin rasional dan semakin sistematis. Seiring dengan
perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah
banyak, tetapi juga semakin mengkhusus. Lalu lahirlah berbagai disipilin ilmu
pengetahuan yang satu per satu mulai memisahkan diri dari filsafat. Kendati
berbagai disiplin ilmu telah memisahkan diri dari filsafat, tidak berarti
filsafat telah menjadi begitu miskin sehingga tinggal terarah kepada satu
permasalahan pokok, dengan wilayah pengetahuan yang semakin sempit dan pada
suatu saat akan lenyap sama sekali.
Kenyatannya, masalah-masalah pokok
yang dihadapi filsafat tak pernah berkurang. Karena banyanyaknya masalah pokok
yang harus dibahas dan di pecahkan, filsafat pun dibagi kedlam bidang-bidang
studi yang sesuai dengan klompok permasalahan pokok yang dihadapinya.
Bidang-bidang studi filsafat juga disebut sebagai cabang-cabang filsafat.
Pembagian bidang-bidang studi atau
cabang-cabang filsafat, sejak kelahiranya hingga pada masa kini, tak pernah
sama kendati itu tidak berarti sama sekali berbeda. Jika disimak dengan cermat,
sesungguhnya isi setiap cabang filsafat itu senangtiasa memiliki kesamaan satu
sama lain.
Aristoteles
membagi filsafat kedalam tiga bidang studi sebagai berikut:
a. Filsafat
spekulatif/teoritis
b. Filsafat
praktika
c. Fisafat
produktif
1. Filsafat
spekulatif atau teoritis. Filsafat spekulatif atau teoritis bersifat objektif.
Termasuk dalam bidang ini ialah fisika metafisika, biopsikologi, dan
sebagainya. Tujuan utama fisafat spekulatif ialah pengetahuan demi pengetahuan
itu sendiri.
2. Filsafat
pratika. Filsafat pratika memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku
manusia yang baik dan sebagaimana mestinya. Termasuk dalam bidang ini ialah
etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat pratika ialah membentuk
sikap dan perilaku yang memampukan manusia untuk bertindak dalam terang pengetahuan
itu.
3. Filsafat
produktif. Filsafat produktif ialah pengetahuan yang membimbing dan menuntun
manusia menjadi produktif lewat suatu
ketrampilan khusus. Termasuk dalam bidang ini kritik sastra,retorika, dan
estetika. Adapun sasaran utama yang hendak dicapai lewat filsafat ini ialah
agar manusia sanggup menghasilkan sesuatu baik secara teknis maupun secara
puitis dalam terang pengetahuan yang benar.
Logika
yang oleh Aristoteles disebut analitika ( untuk meneliti argumentasi yang
berangkat dari proposisi yang benar) dan dialetika (untuk meneliti argumentasi
yang diragukan kebenaranya) tidak dimasukan kedalam salah satu bidang tersebut.
Ini karena menurut aristoteles analetika dan dialetika adalah metode dasar bagi
pengembangan ketiga bidang filsafat tersebut.
Christian
Wolff (1679-1754), seorang filsuf rasionalis Jerman pengikut Leibniz, membagi
filsafat ke dalam cabang-cabang sebagai
berikut:
·
Logika
·
Ontology
·
Kosmologi
·
Psikologi
·
Teologi Naturalis
·
Etika
Will
Durant, dalam bukunya yang berjudul The Story of Philosophy yang diterbitkan
sejak tahun 1926, mengemukakan lima bidang studi filsafat sebagai berikut:
1. Logika
2. Estetika
3. Etika
4. Politika
5. Metafisika
a. Logika.
Logika adalah studi tentang metode berpikir dan dan metode penelitian ideal,
yang terdiri dari observasi, introspeksi, dedukasi, dan idukasi, hipotesis dan
eksperimen, analisis dan sintesis, dan sebagainya.
b. Estetika.
Estetika adalah studi tentang bentuk ideal dan keindahan. Estetika disebut juga
sebagai fisafat seni (philosophy of art )
c. Etika.
Etika adalah studi tentang prilaku ideal
d. Polititika.
Politika adalah studi tentang organisasi social yang ideal, yitu tentang
monarki, aristokrasi, demokrasi, sosialisme, anarkisme, dan sebagainya
e. Metafisika.
Metafisika terdiri dari ontology, dan epistemology
Para
penulis ENSIE (Eerste Nederlandse Systematich Ingrerichte Encyclopaedie)
membagi filsafat kedalam sepuluh cabang sebagai berikut:
·
Metafisika
·
Logika
·
Epistemology
·
Filsafat ilmu
·
Filsafat naturalis
·
Filsafat cultural
·
Filsafat sejarah
·
Estetika
·
Etika
·
Filsafat manusia
The
World University Encyclopedia membagi filsafat kedalam cabang-cabang sebagai
berikut:
a. Sejarah
filsafat
b. Metafisika
c. Epistemology
d. Logika
e. Etika
f. Estetika
Masih
banyak pembagian lain yang ditawarkan oleh para filsuf. Akan tetapi, saat ini
pada umumnya filsafat dibagi kedalam enam bidang studi atau cabang utama
sebagai berikut:
1. Epistemology
2. Metafisika
a. Ontology
b. Kosmologi
c. Teologi
metafisika
d. Antropologi
3. Logika
4. Etika
5. Estetika
6. Filsafat
tentang berbagai disiplin ilmu
Keenam
cabang filsafat itulah yang akan dibicarakan berikut ini.
EPISTEMOLOGI
Epistemology adalah cabang filsafat
yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Etimologis, istilah epistemology
berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu -episteme
(pengetahuan) dan -logos (kata,pikiran,percakapan atau ilmu). Jadi,
epistemology berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu
pengetahuan.
Secara tradisional, yang menjadi
pokok persoalan dalam epistemology ialah sumber, asal mula, dan sifat dasar
pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan pengetahuan; serta validitas dan
reliabilitas (reability) dari berbagai kalim dari pengetahuan. Oleh sebab itu,
rangkaian pertanyanaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang
dipersoalkan di dalam epistemology adalah sebagai berikut: Apakah pengetahuan
itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu
berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi? Apakah pengetahuan itu
adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan? Berikut ini akan
dipaparkan secara ringkas beberapa pokok persoalan yang dipersoalkan di dalam
epistemology.
Tentang
pengetahuan
Jika dikatakan bahwa seseorang
mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu.
Dengan demikian, pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk
kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Apa bila si Paimun
yang baru pulang dari Tokyo menceritakan bahwa Tokyo itu kota yang sangat
besar, jalan rayanya lebar-lebar, hamper semua bangunannya bertingkat, warga
kotanya ramah, dan sebagainya, maka semua yang dituturkannya itu adalah
pengetahuannya tentang Tokyo. Kita mengetahui bahwa satu ditambah satu adalah
dua , sepuluh kali sepuluh adalah seratus,. Kita juga mengetahui ada
bermacam-macam warna: merah, putih hitam dan sebagainya. Kita juga mengetahui
bahwa rumah, meja, sungai, lut, gunung, dan manusia adalah bagian dari
lingkungan hidup kita.semua yang kita ketahui tentang sesuatu itu adalah
pengetahuan.
Pengetahuan senantiasa memiliki subjek,
yakni yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada
pengetahuan. Jika ada subjek, pasti pula ada objek yakni sesuatu yang ihwalnyan
kita ketahui atau hendak kita ketahui. Tanpa objek tidak mungkin ada
pengetahuan.
Pengetahuan bertautan erat dengan
kebenaran karena demi mencapai kebenaranlah pengetahuan itu eksis. Kebenaran
ialah kesesuaian pengetahuan dengan objeknya. Ketidak sesuaiaan pengetahuan
dengan objeknya disebut kekeliruan. Suatu objek yang ingin diketahui senantiasa
memiliki begitu banyak aspek yang sangat sulit diungkapkan secara serentak.
Kenyataannya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu objek itu,
sedangkan yang lainya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas, bahwa
amat sulit untuk mencapai kebenaran yang lengkap dari objek tertentu, apalagi
mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan objek
pengetahuan.
Pengetahuan dapat dibagi ke dalam
tiga jenis sebagai berikut:
1. Pengetahuan
biasa (ordinary knowledge). Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan nir-ilmiah
dan pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasil pencerapan
dengan indra terhadap objek tentu yang di jumpai dalam kehidupan sehari-hari
dan termasuk pula pengetahuan intuitif. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil
pencerapan indrawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional yang
tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan menggunakan metode-metode
ilmiah.
2. Pengetahuan
ilmiah (scientific knowledge). Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang
diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian
kebenaran yang dicapai. Pengetahuan yang demikian dikenal juga dengan sebutan
science.
3. Pengetahuan
filsafati (philosophical knowledge). Pengetahuan filsafati diperoleh lewat
pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi,
penilaiaan kritis, dan pemikiran-pemikiran yang logis, analitis, dan
sistematis. Pengetahuan filsafati adalah pengetahuan yang berkaitan dengan
hakikat, prinsip, dan asas dari seluruh realitas yang dipersoalkan selaku objek
yang hendak diketahui.
Sumber-sumber
pengetahuan
Apakah yang sebenarnya menjadi
sumber pengetahuan? Para filsuf memberi jawaban yang berbeda-beda terhadap
pertanyaan itu. Plato, Descartes, Spinoza, dan Leibinz mengatakan bahwa akal
budi atau rasio adalah sumber utama bagi pengetahuan, bahkan ada yang secara
ekstrem menekankan bahwa akal budi adalah satu-satunya sumber bagi pengetahuan.
Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat bahwa setiap keyakinan
atau pandangan yang bertentangan dengan akal budi tidak mungkin benar. Bagi
mereka pemikiran memiliki fungsi yang amat penting dalam proses mengetahui.
Beberapa filsuf lainnya, seperti
Bacon, Hobbes, dan Locke, menyatakan bahwa bukan akal budi, melainkan
pengalaman indrawilah yang menjadi sumber utama bagi pengetahuan. Kendati
memang ada perbedaan pandangan di antara mereka sendiri, mereka semua
sependapat bahwa pada dasarnya pengetahuan bergantung pada panca indra manusia
serta pada pengalaman-pengalaman indranya, dan bukan pada rasio. Mereka juga
mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya berasal dari
pengalaman. Tidak ad ide atau konsep yang di dalam dirinya sendiri bersifat
apriori, mereka mengatakan bahwa semua konsep dan ide itu sesungguhnya
aposteriori. Jika benar bahwa seluruh ide dan konsep manusia bergantung pada
pengalaman, maka sesungguhnya seluruh pengetahuan manusia itu bersifat
aposteriori. Akan tetapi para filsuf itu mengakui juga bahwa tidak semua
pengetahuan manusia secara langsung bergantung pada pengalaman, melainkan
apabila ditelusuri lebih lanjut, pada akhirnya akan terlihat bahwa pengetahuan
sesungguhnya berasal dari pengalaman.
Immanuel Kant, yang filsafatnya
tidak sealiran dengan John Locke, juga berpendapat bahwa kendati seluruh ide
dan konsep manusia bersifat aprioribsehingga ada kebenaran apriori, ide dan
konsep itu hanya dapat diaplikasikan apabila ada pengalaman. Tanpa pengalaman
seluruh ide dan konsep serta kebenaran apriori tidak akan pernah dapat diaplikasikan.
Dengan kata lain Kant hendak mengatakan bahwa akal budi manusia hanya dapat
berfungsi sebagaimana mestinya apabila dihubungkan dengan pengalaman. Dengan
demikian, Kant memperdamaikan kedua pandangan tersebut yang selama itu
senantiasa saling bertentangan.
Adakah
pengetahuan yang benar dan pasti?
Apakah mungkin ada pengetahuan yang
benar dan pasti? Apakah pengetahuan itu dapat dipercaya? Apakah manusia
benar-benar dapat mengetahui dan dengan demikian dapat memiliki pengetahuan
yang dapat dipercaya? Telah banyak filsuf yang berupaya untuk menjawab
pertanyaan-pertayaan tersebut.
Para penganut skeptisisme pada
umumnya sependapat bahwa segala sesuatu, termasuk yang dianggap “sudah pasti”,
dapat disangsikan kebenarannya. Untuk membenarkan diri, secara ekstrem mereka
berpegang pada ungkapan Sokrates yang mengatakan bahwa apa yang saya ketahui
ialah bahwa saya tidak mengetahui apa-apa (all that I know is that I know
nothing). Dengan demikian, mereka hendak menegaskan bahwa sesungguhnya tidak
ada pengetahuan yang pasti dan mutlak.
Pyrrho (365-275 SM) yang dikenal
sebagai pencipta skeptisisme sistematis pertama ( yang tak pernah menulis apa
pun) dan Timon dari Phlius (320-230 SM) murid Pyrrho, serta Sextus Empiricus
(abad 2 M), penulis Outlines of pyrrhonism, menyatakan bahwa kita harus
senantiasa menyaksikan segala sesuatu yang dianggap benar karena sesungguhnya tidak ada yang
benar-benar dapat diketahui dengan pasti. Penggalaman menunjukkan bahwa banyak
pandangan yang sering kali saling bertentangan, tetapi tidak pernah dapat
ditentukan yang mana benar dan yang mana salah karena tidak ada kriteria yang
dapat digunakan untuk itu
Jhon Wilkins (1614-1672) dan Joseph
Glanvil (1636-1680), yang keduanya adalah anggota awal dari the Royal Society,
the British Scientific Organization, membedakan antara pengetahuan tertentu
yang sempurna (infallibly certain knowledge) dan pengetahuan tertentu yang
sudah pasti (indubitably certain knowledge). Mereka berpendapat bahwa tidak ada
seorang pun manusia dapat meraih pengetahuan
yang sempurna karena kemampuan manusia telah cacat dan rusak. Adapun
pengetahuan tertentu yang telah pasti, misalnya matahari terbit dari timur
setiap hari, api menghanguskan, terkena air basah, dan sebagainya, merupakan
pengetahuan yang tidak perlu diragukan lagi.
David Hume (1711-1776) menyerang
dasar-dasar pengetahuan empiris.ia mengatakan bahwa tidak ada suatu
generalisasi pengalaman yang dapat dibenarkan secara rasional. Demikian pula,
proposisi mengenai pengalaman tidak perlu, karena seseorang dengan mudah tidak
akan dapat membayangkan suatu dunia dimana proposisi itu keliru. Sebagai
contoh, “ matahari akan terbit besok pagi” adalah sebuah generalisasi dari
pengalaman atau realitas. Akan tetapi hal itu sebenarnya tidak perlu karena
kita dapat membayangkan suatu dunia yang mirip dunia kita yang mataharinya
tidak terbit besok pagi. Bagi Hume, generalisasi induktif sama sekali bukan
suatu proses berpikir, melainkan hanya sekedar mengharap hal yang sama akan
terulang kembali dalam kondisi dan situasi yang sama.
Albert Camus (1913-1960) melukiskan
manusia yang berupaya mengukur sifat dan menakar makna dari sesuatu yang pada
hakekatnya tak bermakna dan alam yang absurd dalam bukunya Myth of Sisyphus.
Manusia Sisyphus mengenal betul seluruh keberadaannya dalam kondisi yang begitu
buruk dan amat menyedihkan. Ia tidak berharap untuk meraih kebenaran dan juga
tidak pernah mengantisipasi akhir dari segala permulaannya. Bagi Camus,
sesungguhnya tidak ada makna, tidak ada pengetahuan yang benar secara objektif,
dan juga tidak ada nilai objektif.
Pandangan-pandangan para pemikir
yang menyangsikan segala sesuatu, termasuk yang dianggap oleh seseorang sebagai
yang sudah pasti kebenaranya, sejak semula disanggah oleh pemikir-pemikir
lainya. Sebagai contoh adalah Agustinus dan Thomas Reid ( penyanggah David
Hume).
Augustinus (354-430) mengatakan
bahwa “ manusia tidak dapat mengetahui apa-apa “ menunjukkan bahwa ungkapan itu
sendiri sudah merupakan suatu pengetahuan. Oleh sebab itu, bagi Agustinus,
pendapat para filsuf yang demikian itu secara rasional tidak konsisten.
Selanjutnya, Agustinus mengatakan bahwa jika ungkapan “ manusia tidak
mengetahui apa-apa”
Itu
keliru atau salah, berarti tidak ada masalah. Apabila ungkapan itu benar,
berarti ungkapan itu mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri
(self-contradictory) karena bagai mana pun juga sekurang-kurangnya kita
mengetahui dengan pasti tentang satu hal, yakni kita tahu bahwa kita tidak
dapat mengetahui apa-apa.
Thomas Reid (1710-1796), yang hidup
sezaman dengan David Hume, kendati memahami dan menghargai argument-argumen
Berkeley dan Hume, menganggap bahwa konklusi Hume keliru. Reid menyanggah
presuposisi sentral Hume yang mengatakan bahwa kepercayaan-kepercayaan kita
yang sangat mendasar haruslah dibenarkan oleh argument-argumen rasional
filsafati. Reid mengatakan bahwa bukti-bukti rasional-filsafati yang
dikehendaki Hume itu sesunguhnya tidak pantas dan tidak tepat. Ini karena
argument-argumen rasional-filsafati itu sendiri akan terus-menerus memerlukan
argument-argumen filsafati sampai tak terbatas (ad infinitum). Reid mengatakan
pula bahwa kepercayaan-kepercayaan yang sangat mendasar itu tidaklah
dilandaskan pada pra-anggapan yang membuta begitu saja, melainkan justru
mencerminkan konstisusi rasionalitas kita, yang sanggup juga mengenal lewat
intiusi. Kepercayaan-kepercayaan yang sangat mendasar itu menjadi landasan bagi
seluruh pembuktian-pembuktian lain kendati dirinya sendiri tidak terbuktikan.
Kesahihan pengetahuan
Di dalam epistemology, ada beberapa teori
kesahihan pengetahuan, antara lain teori kesahihan koherensi, teori kesahihan
korespondensi, teori kesahihan pragmatis, teori kesahihan semantic, dan teori
kesahihan logical yang berlebih-lebihan.
Teori kesahihan koherensi (coherence
theory of truth) menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu
pengetahuan) diakui sahih jika proposisi itu memiliki hubungan dengan
gagasan-gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan
secara logis sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika.
Teori kesahihan korespondensi/saling
bersesuaian (correspondence theory of truth) mengatakan bahwa suatu pengetahuan
itu sahih apabila proposisi bersesuaian dengan realitas yang menjadi objek
pengetahuan itu. Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat
dengan kebenaran dan kepastian indrawi. Dengan demikian, kesahihan pengetahuan
itu dapat dibuktikan secara langsung.
Teori kesahihan pragmatis
(pragmatical theory of truth) menegaskan bahwa pengetahuan itu sahih jikalau
proposisinya memiliki konsekuensi-konsekuensi kegunaan atau benar-benar
bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan itu. Teori kasahihan pragmatis adalah
teori kesahihan yang telah dikenal secara tradisional.
Teori kesahian semantik (semantic
theory of truth) adalah teori yang menekankan arti dan makna suatu proposisi.
Bagi teori kesahihan semantic, proposisi harus menunjukkan arti dan makna
sesungguhnya yang mengacu kepada referen atau realitas dan bias juga arti
definitive dengan menunjuk cirri khas yang ada.
Teori kesahihan logical yang
berlebih-lebihan (logical Superfluity theory of truth) hendak menunjukkan bahwa
proposisi logis yang memiliki trem berbeda tetapi berisi informasi sama tak
perlu dibuktikan lagi, atau ia telah menjadi suatu bentuk logic yang
berlebih-lebihan. Contoh: siklus adalah lingkaran atau lingkaran adalah bulatan
dan sebagainya. Dengan demikian, proposisi lingkaran itu bulat tak perlu
dibuktikan lagi kebenarannya.
LOGIKA
Istilah logika pertama kali pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium (334-262 SM), pendiri stoisisme. Logika adalah istilah yang dibentuk dari kata Yunani –Logikos yang berasal dari kata benda-logos.Kata logos berarti sesuatu yang diutarakan,suatu pertimbangan akal(pikiran), kata, percakapan,dan bahasa.Logikos berarti mengenai sesuatu yang diutarakan,mengenai suatu pertimbangan akal (pikiran), mengenai kata, mengenai perkataan,atau yang berkenan dengan bahasa. Dengan demikian,secara etimologis, logika berarti suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa .Sebagai ilmu, logika disebut juga logike episteme atau logica secientia yang berarti ilmu logika, namun sekarang ini lazim disebut logika saja.
Telah banyak definisi logika yang dikemukakan oleh para ahli yang pada umumnya memiliki persamaan, selain juga perbedaan.Dari sekian banyak definisi itu dapatlah dikatakan bahwa logika adalah cabang filsafat yang menyusun,mengembang,dan membahas asas-asas,aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur normatif,serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Hukum Dasar Logika
Ada empat hukum dasar dalam logika
yang oleh John Stuart Mill (1806-1873) disebut sebagai postulat-postulat
universal semua penalaran (universal postulates of all reasonings) dan oleh
Friedrich Uberweg (1826-1871) disebut sebagai aksioma inferensi. Tiga dari
keempat hukum dasar itu dirumuskan oleh Aristoteles,sedangkan yang satu lagi
ditambahkan Leibniz(1646-1716kemudian oleh Gottfried Wilhelm). Keempat hukum
dasar itu adalah
1.Hukum
Identitas (Principium Identitatis/Law of Identity) yang menegaskan bahwa
sesuatu itu adalah sama dengan dirinya sendiri. Rumusnya:P=P.
2.Hukum
Kontradiksi(Principium Contradictionis/Law Of Contradiction) yang menyatakan
bahwa sesuatu itu pada waktu yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat
tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu. Rumusnya :tidak mungkin P=Q dan sekaligus P#Q
- Konsep dan Term
Suatu
objek,material atau nonmaterial,yang dipahami atau dimengerti,hanya mungkin
dipahami atau dimengerti karena akal budi menangkap objek itu sebagaimana objek
itu ada. Memahami suatu objek berarti akal budi menangkap objek itu sehingga
kendati realitas objek itu tidak ada lagi,akal budi sanggup melahirkannya
kembali lewat kata-kata atau bahasa.Pemahaman atau pengertian sebagai
hasil”tangkapan”akal budi itulah yang disebut konsep.Jadi,konsep merupakan
hasil tangkapan akal budi terhadap suatu objek yang diungkapkan lewat
kata-kata.Konsep atau pengertian sering juga disebut verbum mentale,terminus
mentalis,ide,dan sebagainya.
Dalam
logika,konsep yang diungkapkan lewat kata atau kata-kata disebut term.Jadi,term
adalah wujud konsep.
Konsep yang dinyatakan melalui term senantiasa memiliki komprehensi atau
konotasi dan ekstensi atau denotasi (tanda, petunjuk). Komprehensi/konotasi adalah
ciri atau isi yang termuat dalam konsep itu,sedangkan ekstensi/denotasi adalah
kuantitas dan luas konsep itu.Hukum yang berlaku bagi hubungan komprehensi dan
ekstensi itu ialah
apabila komprehensi bertambah,ekstensi berkurang,dan
apabila komprehensi berkurang,ekstensi bertambah;
apabila ekstensi bertambah,komprehensi berkurang,dan
apabila ekstensi berkurang komprehensi bertambah.
Term selaku wujud konsep dapat dibedakan menjadi
berbagai jenis, misalnya term abstrak (kesejahteraan, kebahagiaan) ,term
konkret (Plato, kuda, kelapa), term kolektif (karyawan, mahasiswa), term umum (manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan), term singular (Republik Indonesia, Presiden Indonesia
yang pertama), dan sebagainya.
Proposisi
proposisi atau keterangan adalah (statement) dalam bentuk kalimat yang merupakan rangkaian dari term-term yang dapat memiliki nilai benar atau salah.
Tiga bagian terpenting dalam proposisi adalah subjek, predikat,dan kopula. Subjek adalah term pokok dalam proposisi,dan predikat adalah term yang menyebut sesuatu mengenai subjek, sedangkan kopula ialah penghubung antara subjek dan predikat.
proposisi atau keterangan adalah (statement) dalam bentuk kalimat yang merupakan rangkaian dari term-term yang dapat memiliki nilai benar atau salah.
Tiga bagian terpenting dalam proposisi adalah subjek, predikat,dan kopula. Subjek adalah term pokok dalam proposisi,dan predikat adalah term yang menyebut sesuatu mengenai subjek, sedangkan kopula ialah penghubung antara subjek dan predikat.
Sebenarnya
ada berbagai jenis proposisi, namun semuanya dapat disederhanakan menjadi empat
jenis dengan lambang A, E, I, dan O.
- A adalah proposisi universal afirmatif.
- E adalah proposisi universal negatif.
- I adalah proposisi partikular afirmatif.
- O adalah proposisi partikular negatif.
Contoh-contoh:
- Proposisi A: Semua filsuf adalah manusia.
semua
S (subjek) adalah P (predikat)
semua
S=P
- Proposisi E: Tak seorang pun filsuf adalah kera.
semua
S tidaklah P
semua S # P
- Proposisi I: Sebagian manusia adalah filsuf.
- Sebagian S adalah P
- Sebagian S = P
- Inferensi Langsung
Inferensi
adalah suatu proses penarikan konklusi dari sebuah atau lebih proposisi. Ada
dua cara yang biasa ditempuh dalam
inferensi, yaitu Inferensi dedukif dan inferensi induktif.
Inversi
Inversi ialah penalaran langsung dengan
cara menegasikan subjek proposisi premis dan menegasikan atau tidak menegasikan
predikat proposisi premis.Jika inversi dilakukan dengan menegasikan baik subjek maupun
predikat proposisi premis,inversi itu disebut inversi lengkap.Apabila inversi
dilakukan dengan menegasikan
subjek proposisi premis ,sedangkan predikatnya tidak dinegasikan,inversi
itu disebut inversi sebagian.Proposisi premis
disebut invertend dan
proposisi konklusi disebut
inverse.Langkah yang ditempuh sangat
sederhana.
• Untuk meperoleh inversi lengkap,negasikanlah
subjek dan predikat invertend,lalu
ubahlah pembimbing subjek dari universal menjadi partikular.
• Untuk memperoleh inversi
sebagian,negasikanlah subjek invertend,sedangkan predikatnya tetap
dipertahankan ( tidak berubah ),lalu ubahlah pembilang subjek dari universal menjadi partikular.
Karena hanya subjek yang memiliki
pembilang universal yang dapat
diinversi,itu berarti hanya proposisi A dan E yang dapat diinversikan,sedangkan proposisi I
dan O tidak dapat diinversikan.
Contoh-contoh
:
- Inversi proposisi A
Inversi lengkap
Invertend : Semua filsuf adalah manusia
( A )
Inverse : Sebagian bukan-filsuf adalah
bukan-manusia. ( I ) Inversi sebagian
Invertend : Semua filsuf adalah
manusia. (A )
Inverse : Sebagian bukan-filsuf adalah
manusia.( I )
2.Inversi
Proposisi E
Inversi lengkap
Invertend:semua filsuf bukan kera (E)
Inverse: sebagian bukan-filsuf bukan bukan-kera.(O)
Inversi sebagian
Invertend:semua filsuf bukan kera (E)
Inverse:sebagian bukan-filsuf bukan kera (O)
Dari contoh-contoh tersebut,jelas terlihat bahwa inversi proposisi A hasilnya ialah proposisi I,baik untuk inversi lengkap maupun untuk inversi sebagian.Demikian pula proposisi E,jika diinversi akan menjadi proposisi O,baik untuk inversi iengkap maupun untuk inversi sebagian.
Inversi lengkap
Invertend:semua filsuf bukan kera (E)
Inverse: sebagian bukan-filsuf bukan bukan-kera.(O)
Inversi sebagian
Invertend:semua filsuf bukan kera (E)
Inverse:sebagian bukan-filsuf bukan kera (O)
Dari contoh-contoh tersebut,jelas terlihat bahwa inversi proposisi A hasilnya ialah proposisi I,baik untuk inversi lengkap maupun untuk inversi sebagian.Demikian pula proposisi E,jika diinversi akan menjadi proposisi O,baik untuk inversi iengkap maupun untuk inversi sebagian.
Konversi
konversi adalah jenis penarikan konklusi secara langsung dengan membalikkan atau mempertukarkan term predikat menjadi term subjek,dan term subjek menjadi term predikat.Kuantitas term subjek dan predikat harus sama dan tetap sama sebelum dan sesudah di konversi:keduanya berdistribusi atau keduanya tidak berdistribusi.
Trem subjek dan term predikat yang sam-sama berdistribusi terdapat pada proposisi E dan proposisi I.Demikian pula kualitas konvertend (Proposisi yang hendak di konversi) dan konverse (proposisi yang telah di konversi) harus tetap sama.jadi,jika konvertend afimatif,konverse-nya pun harus negatif. Agar konklusi benar,ketentuan berikut ini harus di perhatikan;
konversi adalah jenis penarikan konklusi secara langsung dengan membalikkan atau mempertukarkan term predikat menjadi term subjek,dan term subjek menjadi term predikat.Kuantitas term subjek dan predikat harus sama dan tetap sama sebelum dan sesudah di konversi:keduanya berdistribusi atau keduanya tidak berdistribusi.
Trem subjek dan term predikat yang sam-sama berdistribusi terdapat pada proposisi E dan proposisi I.Demikian pula kualitas konvertend (Proposisi yang hendak di konversi) dan konverse (proposisi yang telah di konversi) harus tetap sama.jadi,jika konvertend afimatif,konverse-nya pun harus negatif. Agar konklusi benar,ketentuan berikut ini harus di perhatikan;
jika
proposisi A di koversikan,hasilnya ialah proposisi I
jika proposisi E di konversikan,hasilnya tetap proposisi E.
Jika proposisi I di konversikan,hasilnya tetap proposisi I
Adapun proposisi O tidak dapat di konversikan.
Contoh-contoh :
1. konversi Proposisi A
Premis: Semua filsuf adalah manusia (A)
Konklusi: Sebagian manusia adalah filsuf (I)
2. Konversi Proposisi E
Premis: Tak seorang pun filsuf adalah kera (E)
Konklusi: Tak satu pun kera adalah filsuf (E)
3.konversi Proposisi I
Premis: Beberapa anggota ABRI adalah sarjana (I)
konversi: Proposisi Beberapa sarjana adalah anggota ABRI(I)
4. konversi Proposisi O:Tidak dapat di konversikan.
Obversi adalah penalaran langsung yang konklusinya menunjukkan perubhan kualitas proposisi kendali maknanya tetap dan tidak boleh berubah.Adapun kuantitas obvertend (proposisi yang menjadi primis) dan obversi (proposisi yang menjadi konklusi) juga harus tetap sama.Proses yang di tempuh untuk melakukan observasi adalah sebagai berikut:
1. jika proposisi premis afirmatif,ubahlah menjadi negatif ,dan jika proposisi premis negatif, ubahlah menjadi afirmatif.
2. Negasikanlah term predikatnya.
Karena proses yang di tempuh melalui dua kali negasi,prinsip penarikan konklusi ini di sebut prinsip negasi ganda (double negation).Selain itu,karena proposisi afirmatif di ubah menjadi negatif serta proposisi negatif menjadi afirmatif,maka
jika proposisi E di konversikan,hasilnya tetap proposisi E.
Jika proposisi I di konversikan,hasilnya tetap proposisi I
Adapun proposisi O tidak dapat di konversikan.
Contoh-contoh :
1. konversi Proposisi A
Premis: Semua filsuf adalah manusia (A)
Konklusi: Sebagian manusia adalah filsuf (I)
2. Konversi Proposisi E
Premis: Tak seorang pun filsuf adalah kera (E)
Konklusi: Tak satu pun kera adalah filsuf (E)
3.konversi Proposisi I
Premis: Beberapa anggota ABRI adalah sarjana (I)
konversi: Proposisi Beberapa sarjana adalah anggota ABRI(I)
4. konversi Proposisi O:Tidak dapat di konversikan.
Obversi adalah penalaran langsung yang konklusinya menunjukkan perubhan kualitas proposisi kendali maknanya tetap dan tidak boleh berubah.Adapun kuantitas obvertend (proposisi yang menjadi primis) dan obversi (proposisi yang menjadi konklusi) juga harus tetap sama.Proses yang di tempuh untuk melakukan observasi adalah sebagai berikut:
1. jika proposisi premis afirmatif,ubahlah menjadi negatif ,dan jika proposisi premis negatif, ubahlah menjadi afirmatif.
2. Negasikanlah term predikatnya.
Karena proses yang di tempuh melalui dua kali negasi,prinsip penarikan konklusi ini di sebut prinsip negasi ganda (double negation).Selain itu,karena proposisi afirmatif di ubah menjadi negatif serta proposisi negatif menjadi afirmatif,maka
Jika
proposisi A diobversikan,hasilnya akan menjadi proposisi E;
Jika proposisi E diobversikan,hasilnya akan menjadi proposisi A;
Jika proposisi I diobversikan,hasilnya akan menjadi proposisi O;
Jika proposisi O diobversikan,hasilnya akan menjadi proposisi I.
Contoh –contoh
1. Obsevasi Proposisi A
Premis: Semua presiden adalah manusia.(A)
Konklusi: Semua presiden adalah bukan bukan-manusia.(E)
2 Observasi Proposisi E
Premis: Semua serigala bukan manusia.(E)
Konklusi : Semua serigala adalah bukan-manusia.(A)
3. Observasi Proposisi I
Primis: Sebagian manusia adalah pemikir.(I)
Konklusi: Sebagian manusia bukan bukan-pemikir.O
4. Observasi Proposisi O
Primis: Sebagian manusia bukan pelawak.(O)
Konklusi: Sebagian manusia adalah bukan-pelawak,(I)
Jika proposisi E diobversikan,hasilnya akan menjadi proposisi A;
Jika proposisi I diobversikan,hasilnya akan menjadi proposisi O;
Jika proposisi O diobversikan,hasilnya akan menjadi proposisi I.
Contoh –contoh
1. Obsevasi Proposisi A
Premis: Semua presiden adalah manusia.(A)
Konklusi: Semua presiden adalah bukan bukan-manusia.(E)
2 Observasi Proposisi E
Premis: Semua serigala bukan manusia.(E)
Konklusi : Semua serigala adalah bukan-manusia.(A)
3. Observasi Proposisi I
Primis: Sebagian manusia adalah pemikir.(I)
Konklusi: Sebagian manusia bukan bukan-pemikir.O
4. Observasi Proposisi O
Primis: Sebagian manusia bukan pelawak.(O)
Konklusi: Sebagian manusia adalah bukan-pelawak,(I)
Kontraposisi
kontraposisi ialah penarikan konklusi secara langsung dengan jalan menukar posisi subjek dan predikat yang telah di negasikan terlebih dahulu. Proposisi konklusinya di sebut kontrapositif.Dalam kontraposisi,jelas terlihat bahwa sesungguhnya arti makna proposisi kontrapositif tetap ekuivalen dengan arti dan makna proposisi premis.Adapun langkah –langkah yang di tempuh dalam proses kontraposisi sebagai berikut;
1.Negasikanlah term subjek dan term predikatnya
2.Konversikanlah term subjek dan term predikat yang telah di negasikan itu.
kontraposisi ialah penarikan konklusi secara langsung dengan jalan menukar posisi subjek dan predikat yang telah di negasikan terlebih dahulu. Proposisi konklusinya di sebut kontrapositif.Dalam kontraposisi,jelas terlihat bahwa sesungguhnya arti makna proposisi kontrapositif tetap ekuivalen dengan arti dan makna proposisi premis.Adapun langkah –langkah yang di tempuh dalam proses kontraposisi sebagai berikut;
1.Negasikanlah term subjek dan term predikatnya
2.Konversikanlah term subjek dan term predikat yang telah di negasikan itu.
Dengan kontraposisi,hanya ada dua proposisi premis
yang memiliki kontrapositif.Dengan kata lain,hanya ada dua jenis proposisi yang
dapat di kontraposisikan:
- Proposisi A dapat di kontraposisikan
- Proposisi E tidak dapat di kontraposisikan
- Proposisi I tidak dapat di kontraposisikan
- Proposisi O dapat di kontraposisikan
contoh –contoh;
1. Kontraposisi Proposisi A
Premis: Semua filsuf adalah manusia
Konklusi: Semua bukan –manusia adalah bukan-filsuf
2. Kontraposisi Proposisi E
Tidak dapat kontraposisikan.
3. Kontraposisi Proposisi I
Tidak dapat di kontraposisikan.
- Proposisi A dapat di kontraposisikan
- Proposisi E tidak dapat di kontraposisikan
- Proposisi I tidak dapat di kontraposisikan
- Proposisi O dapat di kontraposisikan
contoh –contoh;
1. Kontraposisi Proposisi A
Premis: Semua filsuf adalah manusia
Konklusi: Semua bukan –manusia adalah bukan-filsuf
2. Kontraposisi Proposisi E
Tidak dapat kontraposisikan.
3. Kontraposisi Proposisi I
Tidak dapat di kontraposisikan.
4. Kontraposisikan Proposal O
Premis: Sebagian demonstran bukan mahasiswa.
Kontrlusi: Sebagian bukan-mahasiswa bukan bukan –demon stran.
Oposisi
oposisi adalah penalaran langsung yang proposisi konklusinya merupakan oposisi dari proposisi premis dengan term subjek dan predikat yang sama.Hubungan antara proposisi A-E-I-O mengandung empat jenis oposisi dari proposisi primis dengan term subjek dan predikat yang sama.Hubungan antara proposisi A-E-I-O Mengandung empat jenis oposisi.
Premis: Sebagian demonstran bukan mahasiswa.
Kontrlusi: Sebagian bukan-mahasiswa bukan bukan –demon stran.
Oposisi
oposisi adalah penalaran langsung yang proposisi konklusinya merupakan oposisi dari proposisi premis dengan term subjek dan predikat yang sama.Hubungan antara proposisi A-E-I-O mengandung empat jenis oposisi dari proposisi primis dengan term subjek dan predikat yang sama.Hubungan antara proposisi A-E-I-O Mengandung empat jenis oposisi.
Keempat
jenis oposisi itu adalah sebagai berikut:
1. kontrari menunjukkan oposisi antara proposisi A dan E
2. Subkontrari menunjukkan oposisi antara proposisi I dan O
3. Subbalternasi menunjukkan oposisi antara proposisi A,I,dan antara proposisi E dan O.
4. Kontraditari menunjukkan oposisi antara proposisi A,O,dan antara proposisi E dan I.
Itu dapat di gambarkan sebagai berikut.
1. kontrari menunjukkan oposisi antara proposisi A dan E
2. Subkontrari menunjukkan oposisi antara proposisi I dan O
3. Subbalternasi menunjukkan oposisi antara proposisi A,I,dan antara proposisi E dan O.
4. Kontraditari menunjukkan oposisi antara proposisi A,O,dan antara proposisi E dan I.
Itu dapat di gambarkan sebagai berikut.
Semua
pendidik adalah guru Semua
pendidik bukan guru
Kontrari
Subaltemasi Kontradiktori Subaltemasi
Subkontrari
Sebagian pendidikan adalah guru Sebagian pendidik bukan guru
Kontrari
Subaltemasi Kontradiktori Subaltemasi
Subkontrari
Sebagian pendidikan adalah guru Sebagian pendidik bukan guru
Catatan:
1.Oposisi subalternasi A-I dan E-O:
.Jika proposisi A benar,proposisi I pun benar.
Jika proposisi, I benar, belum tentu proposisi A benar.
Bila proposisi E bena, proposisi O pun benar.
Bila proposisi O benar, belum tentu proposisi E benar.
2. oposisi kontrari A- E:
jika proposisi A benar, proposisi E salah.
Jika proposisi, E benar, proposisi A salah
1.Oposisi subalternasi A-I dan E-O:
.Jika proposisi A benar,proposisi I pun benar.
Jika proposisi, I benar, belum tentu proposisi A benar.
Bila proposisi E bena, proposisi O pun benar.
Bila proposisi O benar, belum tentu proposisi E benar.
2. oposisi kontrari A- E:
jika proposisi A benar, proposisi E salah.
Jika proposisi, E benar, proposisi A salah
3.
Oposisi subkontrari I-O:
Tidak mungkin kdua-duanya salah.
Bisa
pula kedua-duanya benar.
4.
Oposisi kontradiktori A-O dan I-E;
Jika
proposisi A benar, proposisi O salah.
Jika
proposisi O benar, proposisi A salah.
Bila
proposisi I benar, proposisi salah.
Bila
proposisi E benar, proposisi I salah
Inferensi silogistis
Inferensi silogistis adalah inferensi deduktif dengan menggunakan silogisme. Silogisme ialah penarikan konklusi secara tidak langsung yang merupakan bentuk formal dari penalaran deduktif. Karena silogisme adalah inferensi deduktif, konklusinya tidak akan lebih umum dari premis-premisnya. Premis ialah proposisi-proposisi yang digunakan untuk untuk penarikan konklusi. Konklusi ialah proposisi yang menyatakan hasil inferensi yang dilakukan berdasarkan proposisi-proposisi yang menjadi permis-permis suatu inferensi. Proposisi-proposisi yang menjadi premis-premis dalam suatu silogisme disebut anteseden. Perdikat konklusi disebut trem mayor, dan subjek konklusi disebut trem minor. Itu disebut demikian karena eksistensi predikat konklusi senantiasa lebih lusa daripada subjeknya. Premis yang mengandung term mayor disebut permis mayor, sedangkan premis yang mengandung term minor disebut premis minor. Trem yang tidak terdapat pada proposisi konklusi namun ada dikedua premis disebut term tengah (treminus medius).
Inferensi silogistis adalah inferensi deduktif dengan menggunakan silogisme. Silogisme ialah penarikan konklusi secara tidak langsung yang merupakan bentuk formal dari penalaran deduktif. Karena silogisme adalah inferensi deduktif, konklusinya tidak akan lebih umum dari premis-premisnya. Premis ialah proposisi-proposisi yang digunakan untuk untuk penarikan konklusi. Konklusi ialah proposisi yang menyatakan hasil inferensi yang dilakukan berdasarkan proposisi-proposisi yang menjadi permis-permis suatu inferensi. Proposisi-proposisi yang menjadi premis-premis dalam suatu silogisme disebut anteseden. Perdikat konklusi disebut trem mayor, dan subjek konklusi disebut trem minor. Itu disebut demikian karena eksistensi predikat konklusi senantiasa lebih lusa daripada subjeknya. Premis yang mengandung term mayor disebut permis mayor, sedangkan premis yang mengandung term minor disebut premis minor. Trem yang tidak terdapat pada proposisi konklusi namun ada dikedua premis disebut term tengah (treminus medius).
Contoh
silogisme: semua filsuf adalah manusia.
Plato adalah flisuf.
Jadi , Plato adalah manusia.
Catatan : manusia adalah term mayor.
Plato adalah term minor.
Filsuf adalah term tengah.
Proposisi 1 adalah premis mayor.
Proposisi 2 adalah premis minor.
Proposisi 1 dan 2 disebut anteseden.
Proposisi 3 adalah konklusi.
Plato adalah flisuf.
Jadi , Plato adalah manusia.
Catatan : manusia adalah term mayor.
Plato adalah term minor.
Filsuf adalah term tengah.
Proposisi 1 adalah premis mayor.
Proposisi 2 adalah premis minor.
Proposisi 1 dan 2 disebut anteseden.
Proposisi 3 adalah konklusi.
Ada
empat pola yang digunakan dalam inferensi silogistis dan ada sembilan belas
bentuk silogisme yang sahih. Keempat pola tersebut adalah sebagai berikut :
Pola
I: MP Pola
II : PM Pola III: MP
SM SM MS
SP SP SP
Pola
IV: PM
MS
SP
Catatan
: M: term tengah S: term minor P: term mayor
kedelapan
belas bentuk silogisme yang sahih adalah sebagai berikut:
Pola
Premis
Mayor Premis Minor Konklusi nama
I A A A barbara
I E A A Celarent
I A I I Darii
I E I O Ferio
I I A E E Camestres
I I E A E Cesare
I I A O O Baroco
I I E I O Festino
III A A I Darapti
III E A O Felapton
III A I I Datisi
III E I O Fersion
III
I A I Disamis
IV A A I Bramantis
IV A E E Camenes
IV E A O Fesapo
IV E I O Fresison
IV
I A I Dimaris
ETIKA
Etika
seringkali disebut sebagai filsafat moral. Berasal dari dua kata dalam bahasa
yunani ( ethos ) dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat
yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang
baik. Istilah moral berasal dari kata latin mores, yang merupakan bentuk jamak
dari mos, yang berarti adat istiadat atau kebiasaaan, watak, kelakuan, tabiat,
dan cara hidup.
Dalam sejara filsafat barat, Etika
adalh cabang filsafat yang amat berpengaruh sejak zaman Sokrates ( 470-399 SM).
Etika membahas baik buruk atau benar
tidaknya tingkah laku dan
tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Eika
tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaiman manusia
seharusnya berbuat atau bertindak.
Ada bebrbagai pembagian Etika yang
dibuat oleh ahli Etika. Beberapa ahli membagi Etika kedalam dua baguan, yakni
Etika dekriptif dan Etika normative. Ada pula yang membagi kedalam Eika
normatif dan metaetika. Ahli lain membagi kedalam tiga bagian atau tiga bidang
studi, yaitu : Etika deskriptif, Etika normative, dan metetika.
Etika Deskriptif
Etika
deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman Moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan
bertolak dari kenyataan bahwa ada berbagai fenomena Moral yang dapat
digambarkan dan di uraikan secara Ilmiah, seperti yang dapat dilakukan terhadap
fenomena spiritual lainnya, misalnya : religi dan seni. Oleh karena itu, Etika
Deskriptif di golongkan kedalam bidang ilmu empiris dan hubungan erat debgan
Sosiologi. Dalam hubungannya deengan Sosiologi, Etika Deskriptif berupaya
menemukan dan menjelaskan kesadaran,keyakian, dan pengalaman Moral dalam suatu
kultur tertentu.
Etika Deskriptif dapat di bagi
kedlam dua bagian: pertama, sejarah Moral, yang meneliti cita-cita,
aturan-aturan, dan norma-norma moral,
yang pernah di berlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam suatu
lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa; kedua,fenomenolohi moral, yang
berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada. Fenomenologi moral tidak bermaksud menyediakan petunjuk-petunjuk atau patokan-patokan
moral yang perlu di pegang oleh manusia
karena itu, fenomenologi moral tidak di
permasahkan.
Normatif Etika
Etika normatif kerap kali juga di sebut filsafat filsafat
moral ( moral philosophy ) atau juga di sebut Etika filsafati ( philosophical
ethics ). Etika normatif dapat di bagi kedalam dua teori, yaitu : tori-teori nilai
(theories of value) dan teori-teori keharusan (theories of ligation).
Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori-teori keharusan
membahas tingkah laku. Ada pula yang membagi etika normative kedalam dua
golongan sebagai berikut: konsekuensialis (teleological) dan nonkonsekuensialis
(deontological). Konsekuensialis (teleological) nerpendapat bahwa moralitas
suatu tindakan ditentukan oleh konsenkuensinya. Adapun nonkonsekuensial (
deontological ) berpendapat bahwa moralitas suatu tindakn di tentukan oleh sebab-sebab
yang menjadi doromgan dari tindakan itu, atau di tentukan oleh sifat-sifat
hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan
prinsip-prinsip tertentu.
Teori-teori nilai ( theories of
value ) bisa besifat ministis, bisa juga
bersifat pluralistis. Aliran hedonism,
baik hedonism spritualis maupun hedonism materialistis sensualistis,
merupakan salah satu bentuh dan wujud dari teori nilai yang monistis.
Aliran-aliran hedonistis dan non hedonistis juga di masukan ke dalam golongan
konsekensialis atau teleological. Aliran
utilitarianisme Bentham dan Mill, karena menekankan kebahagiaan terbesar
bagi jumlah yang terbesar, bersifat
hedonistis, maka masuk kedalam golongan konsekuensialis atau teleological.
Adpaun aliaran utilitarianisme ideal Moore dan Randall masuk kedalm
konsekuensialis atau teleological yang non hedonistis demikian juga, aliran perfeksionisme
Aristoteles dan Green, yang menekankan perkembangan penuh atau kesempurnaan diri
sebagai tujuan akhir yang dapat di capai oleh manusia, tergolonh ke dalam
konsekensialisme non hedonistis.
Baik
teteologikal maupun deontological dapat di masuka kedalam teori
keharusan ( theories of obligation ).
Salah satu aliran yang terkenal dalam teori keharusan yang teleological ialah
aliran egoisme. Salah satu versi egoisme mengajarkan bahwa tolak ukur bagi
penillaian benar salahnya suatu tindakan ialah dengan mempertimbangkan untung
ruginya tindakan itu bagi si pelaku
sendiri. Egoisme menegakan bahwa manusia memiliki Hak untuk berbuat
apa saja yang di anggap menguntungkan dirinya.
Dalam teori keharusan yang
depntologikal, tampillah aliran formalism. Para pemikir formalis mengatakan bahwa akibat (
konsekuensi ) bukan hanya tidak mampu,
melainkan juga tidak relevan untuk menilai suatu tindakan atau
perbuatan. Bagi para formalis, yang paling penting dan paling menentukan ialah motivasi yang baik akan membuat tindakan atau
perbuatan pasti benar kendati akibat perbuatn itu sendiri ternyata buruk.
Metaetika
Metaetika merupakan salah satu studi
analitis terhadap disiplin etika.
Metaetika baru muncul pada abad
ke-20, yang secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta makna
istilah-istilah normative yang di ungkapkan
lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu
tindakan. Istlah-istilah normative yang sering mendapat perhaitan khusus antara
lain; keharusan, baik, buruk, benar, salah, yang terpuji, yang tidak terpuji,
yang adil, yang semestinya, dan
sebagainya.
Ada beberapa teori yang di sodorkan oleh aliran-aliran yang
cukup terkenal dalam metaetika.
Teori-teori tersebut ialah teori naturalistis dari naturalism, teori
intiutif dari intuisionisme, teori
kognitivis dari kognitivisme, teori subjektif dari subjektivisme, teori emotif
dari emosivisme, teori imperative dari imperativisme, dan teori skeptic dari
skeptisisme.
Teori naturalistis mengatakan bahwa
istilah-istilah moral sesungguhnya menamai hal-hal atau fakta-fakta yang pelik
dan rumit. Istilah-istilah normatif etis, seperti baik dan benar, dapat
disamakan dengan istilah-istilah deskriptif, yang di kehendaki Tuhan, yang di idamkan atau yabg biasa. Teori
naturalistis juga berpendapat bahwa ertimbangan-pertimbangan moral dapat di
lakukan lewat penyelidikan dan penelitian ilmiah.
Teori kognitivis mengatakan bahwa
petimbangan-pertimbangan moral tidak selau benar, sewktu-waktu bisa keliru. Itu
berarti keputusan moral bisa benar dan bisa salah. Selain itu, pada prinsipnya
pertimbangan-pertimbangan moral dapt menjadi subjek pengetahuan atau kognisi.
Teori kognitivis dapat bersifat naturalistis dan dapat juga bersifat
non-naturalistis.
Teori intuitif berpendapat bahwa
pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah di peroleh secara
intiutif. Teori intiutif menolak kemungkinan untuk memberi batasan-batasan
non-noramtif terhadap istilah-istilah normative etis. Bagi teori intuitif,
pebgetahuan manusia tentang yang baik dn tentang yang salah itu jelas dengan
sendirinya karena manusia dapat merasa dan mengetahui secara langsung apakah
nilai hakiki suatu hal itu baik atau buruk, atau benar tidaknya suatu tindakan.
Teori subjektif menekankan bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral sesumgguhnya hanya dapat mengungkapkan fakta-fakta subjektif tentang
sikap dan tingkah laku manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral itu tidak
mungkin dpat mengungkapkan fakta-fakta objektif. Karena itu, apabila seseorang
mengatakan bahwa sesuatu itu benar, sebenarnya ia mengatakan bahwa ia myetujui
sesuatu itu benar demikian. Sebaliknya, apa bila ia mengatakan sesuatu itu
salah, sesungguhnya ia hanya mengungkapkan ketidak setujuanya terhadap apa yang
dikatakan salah itu.
Teori emotif
menegaskan bahwa pertimbangan- pertimbangan moral tidak mengungkapkan
sesuatu apapun yang dapat di sebut salah atau benar kendati hanya secara
subjekti. Pertimbangan-pertimbangan ,oral tidak lebih dari suatu ungkapan emosi
semata-mata. Menurut teori emotif,
istilah-istilah etis tidak memiliki makna apapun kecuali hanya sebagai
tanda dari luapan perasaan dan, dalam hal ini, sama saja seperti rintihan,
seruan, umpatan, dan sebagainya.
Teori imperative berpendapat bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral
sesungguhnya bukanlah ungakapn dari sesuatu
yang dapat di nilai salah atau benar. Dengan demikian, tak satupun
istilah moral yang dapat memuat
sesuatu yang boleh disebut atau benar.
Teori yang dapat imperativf mengatakan bahwa istilah-istilah moral itu
sesungguhnya hanya merupakan isilah-istilah samara dari keharusan atau pun
perintah. Jadi, apabial di katakana “ kebohongan itu tidak baik ‘’, yang
dimaksudkan ialah ‘ jangan berbohong’. Jadi dikatakan ‘ kebaikan adalh terpuji
dan benar ‘, yang di maksudkan ialah ‘ lakuakn lah yang baik’.
Teori-teori emotif dan imperative
dapat dimasuak kedalam nonkonitivisme.
Teori subjektif tidak dapat disebut nonkognitivis, tetapi juga tak dapat disebut kognitivis. Akan tetapi,
subjektivisme, emotifisme, dan imperativisme dapat dimasukan ke dalam
skeptisime.
Yang dapat di golongkan ke dalam
skeptisisme ialah teori-teori yang mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada
kebenaran mora; yang mengatakan
moralitas tidak memik\liki dasar rasional; yang mengemukakan bahwa
prinsip-prinsip moral tidak dapat di biktikan kebenarannya; yang berpendapat
bahwa salah benarnya suatu hal itu hanyalah semata-mat soal adat, kebiasaaan,
ataupun selera; atau yang mengatakan bahwa norma-norma etis tidak mutlak.
Karena itu, relativismepu termasuk kedalam skeptisisme karena mengajarkan bahwa
norma-norma etis itu bersifat relative dan hanya benar serta berlaku dalam
suatu lingkungan buadaya tertentu dalam
kurang waktu tertentu pula.
Estetika
Estetiaka
adalah cabang filsafat yang mepersoalkan
seni (art) dan keindahan (beauty ). Istilah estetika berasal dari kata yunani aesthesis, yang berarti pencerapan indrawi, pemahaman intelektual,
atau bisa juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art (seni) berasal dari
kata ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kevakapan.
Sejak zaman Yunani purba, estetika
filsafat sering disebut dengan berbagai nama, seperti filsafat seni (philosophy
of art), filsafat keindahan (philosophy of beauty), filsafat citarasa (
philosophy of taste), dan filsafat kritisisme (philosophy of criticism). Akan
tetapi, sejak abad XVIII, istilah estetika mulai menggantikan nama-nama
tersebut.
Istilah estetika diperkenalkan oleh
seorang filsuf Jerman bernama Alexander Gottlieb Baumgarten (17 Juli 1714-26
Mei 1762) lewat karyanya, Meditationes philosophicae de nonullis ad poema
pertinentibus (1735), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul
Reflections on poetry (1954). Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang
didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya yang
berjudul Aesthetica acromatica (1750-1758).
Estetika dapat dibagi ke dalam dua
bagian, yaitu estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif
menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika
normatif mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar, dan ukuran pengalaman
keindahan. Ada pula yang membagi estetika ke dalam filsafat seni (philosophy of
art) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty). Filsafat seni mempersoalkan
status ontologism dari karya-karya seni dan mempertanyakan pengetahuan apakah
yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk
menghubungkan manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah
keindahan itu dan apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.
Sepanjang sejarah filsafat,
pandangan dan pendapat para filsuf tentang masalah estetis amat bervariasi.
Plato berpendapat bahwa seni (imitation). Sebagai contoh, pelukis yang melukis
suatu panorama alam yang indah sesungguhnya hanya meniru panorama alam yang
pernah dilihatnya. Karya-karya seni hanyalah tiruan dari meja, burung, kucing,
dan sebagainya. Sedangkanmeja, burung, dan kucing yang ditiru itu hanyalah
tiruan dari bentuk ideal meje, burung, dan kucing yang ada di dalam dunuia ide.
Dengan demikian, karya-karya seni itu merupakan tiruan yang ke dua dan oleh
karenaitu tidak sesempurna aslinya.
Aristoteles sependapat dengan plato mengenai seni sebagai
tiruan dari berbagai hal yang ada .
contoh yang di berikan oleh Aristoteles iakah puisi. Aristoteles mngatakan
bahwa puisi adalah tiruan dari tindakan
dan perbuatan manusia yang dinyatakan lewat kata-kata. Apabila plato menganggap
bahwa seni itu tidak begitu penting kendati karya-karya tulisnya merupakan
karya seni sastra yang tak tertandingi sampai sekarang ini, aristoteles justru
menganggap bahwa seni itu penting karena memiliki pengaruh yang besar bagi
manusia. Aristoteles mengatakan bahwa puisi lebih filsafati dari pada sejarah.
Estetika pada abad pertengahan tidak
begitu mendapat perhatian dari para filsuf. Itu karena gereja Kristen semula
bersikap memusuhi seni karena dianggap duniawi dan merupakan produk bangsa
kafir yunani dan romawi. Akan tetapi, Augustinus (354-430) memiliki minat cukup
besar pada seni. Ia mengembangkan suatu filsafat platonisme Kristen dengan
mengajarkan bentuk-bentuk platonic (platonic forms). Ia mengatakan bahwa
bentuk-bentuk platonic juga berada dalam pemikiran Allah. Menurut Augustinus,
keindahan merupakan salah satu bentuk yang ada dalam pemikiran Allah: oleh
sebab itu, keindahan dalam seni dan keindahan dalam alam haruslah memiliki
pertalian yang erat dengan agama. Kendati Augustinus mengikuti ajaran plato
tentang keindahan, ia tidak sependapat dengan plato yang mengatakan bahwa seni hanyalah tiruan.
Augustinus mengatakan bahwa hewan pun meniru, tetapi tidak dapat menghasilkan
karya seni.
David Hume (1711-1776) mengatakan
bahwa keindahan bukanlah suatu kwalitas objektif yang terletak didalam
objek-objek itu sendiri, melainkan berada di dalam pikiran. Manusia tertarik
pada suatu bentuk dan struktur tertentu lalu menyebutnya indah. Hume mengatakan
bahwa apa yang dianggap indah poleh manusia sesungguhnya amat ditentukan oleh
sifat alamai manusia yangh dipengaruhu juga oleh kebiasaan dan preferensi
individual.
Immanuel kant (1724-1804) menganggap
kesadaran estetis sebagai unsur yang penting dalam pengalaman manusia pada
umumnya. Sama seperti Hume, Kant juga berpendapat bahwa keindahan itu marupakan
penilaian estetis yang semata-mata subjektif. Di dalam karyanya, critique of
judgment (1790), Kant mengatakan bahwa pertimbangan estetis ( Aesthetic
judgment) memberikan fokus yang amat dibutuhkan untuk menjembati segi-segi
teori dan praktek dari sifat dasar manusia.
George Wilhelm Friedrich Hegel
(1770-1831) dan Arthur Schopenhauer (1788-1860) mencoba menyusun tata jenjang
bentuk-bentuk seni itu. Bagi Hegel, arsitektur berada pada jenjang paling bawah
dan puisi berada dipuncaknya. Adapun Schopenhauer menempatkan music ditempat
tertinggi dan arsitektur di tempat terendah.
John Dewey (1859-1952), filsuf
amerika yang dikenal sebagai eksponen pragmatism, menentang dualisme yang
hendak memisah-misahkan segala sesuatu yang seharusnya saling terpaut dan utuh.
Dewey berupaya untuk menunjukkan bahwa
seni itu sesungguhnya suatu hal yang tak terpisahkan dari kehidupan
sehari-hari. Dewey berpendapat bahwa seni terpaut begitu erat dengan segi-segi
kehidupan lainnya, maka sangat keliru apabila seni hendak dipisahkan dari
segi-segi kehidupan lainnya.
Filsuf Amerika lainya, George
Santayana (1866-1952), mengembangkan estetika naturalistis. Sama seperti Hume
dan kant, Santayana menolak objektivitas keindahan. Menurut Santayana,
keindahan identik dengan kesenangan yang dialami manusia ketika ia mengamati
objek-objek tertentu. Santayana mengatakan bahwa keindahan itu adalah perasaan
senang yang diobjektivkan dan diproyeksikan ke dalam objek yang diamati.
Filsuf Italia, Benedetto Croce
1866-1952), mengembangkan teori estetikanya lewat alam piker filsafat idelisme.
Croce menyamakan seni dengan intiusi, dan menurut croce intuisi adalah gambar
yang berada di alam pikiran. Dengan demikian, seni itu berada didalam alam
pikiran seniman. Karya seniman dalam bentuk fisik sesunggunya bukan seni,
melainkan semata-mata alat bantu untuk menolong penciptaan kembali seni yang
sebenarnyaberada di alam pikiran seniman. Croce juga menyamakan intuinsi dengan
ekspresi. Karena seni sama dengan ekspresi, berarti seni sama dengan ekspresi.
Apa yang diekspresikan itu tidak lain dari perasaan seniman. Croce mengatakan
seni adalah ekspresi dari kesan-kesan.
Clive Bell (1851-1964) mempopulerkan
gagasanya lewat ungkapan bentuk yang berarti dan perasaan etis. Yang
dimaksudkan dengan bentuk yang berarti ialah hal yang membuat karya-karya seni
itu benar-benar bernilai. Perasaan estetis hanya dapat dialami pada saat
seseorang sungguh-sungguh menyadari akan bentuk yang berarti. Apakah bebtuk
yang berarti itu? Bell tidak apa yang dimaksudkanny dengan bentuk yang berarti
itu. Ia hanya mengatakan bahwa bentuk yang berarti ialah bentuk hasil karya
seni yang mengugah perasaan seni seseorang.
FILSAFAT
TENTANG BERBAGAI DISIPLIN
Sebagaimana yang
dikemukakan sebelunya, pada mulanya filsafat mencakup seluruh ilmu pengetahuan
yang telah dikenal pada masa itu. Kemudian, secara berangsur-angsur, satu demi
satu, berulah berbagai ilmu pengetahuan melepaskan diri dari Filsafat dan
menjadi yang mandiri.
Sesudah itu, perkembangan ilmu-ilmu yang
telah mandiri itu begitu pesat dan mengumumkan serta memberi harapan luar biasa
sehingga banyak orang begitu yakin bahwa berbagai ilmu pengethuan yang telah
mandiri itu dapat menjawab dan memecahkan seluruh persoalan yang selama ini
tidak dapat dijawab dan dipecahkan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika
banyak orang yang bahwa dengan perkembangannya berbagai ilmu pengetahuan
ini,Filsafat semakin terdesak dan akhirnya tidak diperlukan lagi. Akan tetapi
kenyataan menujukkan bahwa sesungguhnya ada banyak hal yang tidak dapat dijawab
dan dipecahkan oleh berbagai ilmu pengetahuan.
Pada umumnya ilmu pengetahuan
dikembangkan dengan bertolak dari realitas serta dan mengajukan
pertayaan-pertanyaan factual dan praktis. Akan tetapi, apabila
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada suatu bidang ilmu pengetahuan telah
melampaui yang factual dan praktis serta mengaju kepada upaya untuk mencari
kejelasan tentag seluruh realitas itu sendiri, maka berbagai ilmu pengetahuan
yang telah mandiri itu terpaksa harus kembali keinduknya, yakni Filsafat
tentang seluruh realitas serta mencari akar dan asas realitas telah berada
diluar kompetensi ilmu pengetahuan karena sesungguhnya hal itu merupakan suatu
upaya Filsafati yang membutuhkan pemikiran abstrak dan reflektif kritis.
Karena banyak pertanyaan yang diajukan
pada berbagai bidang ilmu pengetahuan telah melampaui kompetensifilsafat khusus
ini bidang itu sendiri harus dimintakan jawabannya kepada filsafat, maka
lahirlah Filsafat khusus tentang berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Filsafat
khusus ini menerapkan berbagai metode Filsafati dalam upaya mencari akar dan
menemukan asas realitas yang dipersoalkan oleh bidang ilmu tersebut demi
memperoleh kejelasan lebih pasti.
Beberapa banyak Filsafat tentang
berbagai disiplin ilmu pengetahuan? Setiap disiplin ilmu pengetahuan
membutuhkan Filsafat sehingga pada hakekatya jumlah filsafat tentang berbagai
disiplin ilmu banyak jumlah disiplin ilmu yang ada. Pada masa kini, ada begitu
banyak ilmu pengetahuan yang bverkembang. Ilmu-ilmu dapat dibagi dalam tiga
kelompok yaitu:
1.
Ilmu deduktif ( ilmu formal)
2.
Ilmu induktif ( ilmu empiris)
3.
Ilmu reduktif ( ilmu sejarah)
Pada hakekatnya persoalan-persoalan
Filsafati terdapat seluruh bidang ilmu dari tiga kelompok tersebut, namun
banyakhanya beberapa saja yang akan dikemukakan dan diulas secara ringkas.
FILSAFATI
POLITIK
Filsafat politik merupakan salah satu
cabang Filsafat yang tertua filsafat politik adalah refleksi
Filsafati mengenai masalah-masalah sosial
politik yang dapat dibedakan menjadi dua bagian pembahasan yang berkaitan erat. Yang pertama mempersoalkan hakikat,
sedangakan yang kedua fungsi dan tujuan.
Akan tetapi , dalam kenyataan, Filsafati
politik bukan hanya memprsoalkan hakekat, fungsi dan tujuan Negara, melainkan
juga membicarakan keluarga dalam Negara, pendidikan, agama, hak dan kewajiban
individual, kekayaan dan harta, milik, pemerintah dan sebagainya.
Plato, dalam bukunya yang berjudul
repoblik, mempersoalkan dan membahas berbagai permasalahan tersebut? Bagi
Plato, Negara ideal ialah Negara yang penuh dengan kebajikan dan keadilan.
Setiap warganya berfungsi sebagaimana mestinya dalam upaya meralisasikan Negara
ideal itu. Agar warga Negara dapat berfungsi sebagaimana mestinya pendidikan
harus diatur oleh Negara.
Pendidikan menduduki tempat amat penting
dalam Filsafati politik plato. Agar Negara ideal itu dapat terwujud nyata, yang patut menjadi raja. Bagi plato,
Filsuflah yang harus menjadi raja karena hanya Filsuf yang benar-benar mengenal
ide-ide dengan demikian, ia pun tahu, tentang kebajikan, kebaikan, dan keadilan
sehingga pemerintahnnya tidak akan
mengarah padea kejahatan dan ketidakadilan. Karena Filsuflah yang dianggap
memiliki pengetahuan yang sesungguhnya, sedangkan bagi plato, pengetahuan
adalah kekuasaan, maka hanya filsuflah yang layak memerintah.
Aristoteles
berpendapat bahwa negara adalah h koinonia politi he koinonia (persekutuan yang dibentuk polis.
Yang dibentuk demi kebaikan tertinggi the lighast good) bagi manusia. Negara
harus mengupayakan dan menjamin kesejahteraan bersama yang sebenar-benarnya
karena hanya dalam kesejahteraan bersama (kesejahteraan umum) kesejahteraan
individual dapat diperoleh.
Menurut Aristoteles, alangkah baiknya
apabila negara diperintah oleh seorang si filsuf raja yang memiliki pengetahuan
sempurna dan amat bijaksana karena akan menjamin tercapainya kebaikan tertinggi
bagi warga negara. Akan tetapi, di dunia ini tidak mungkin ditemukan seorang
filsuf raja yang sempurna. Oleh karena itu, Aristoteles mengatakan bahwa yang
penting ialah menyususn hukum atau konstruksi terbaik yang menjadi sumber
kekuasaan dan menjadi pedoman pemerintahan bagi para penguasa.
Filsafat politik klasik senantiasa
bermuara pada etika yang pada masa itu menduduki tempat paling mulia di antara
segala cabang filsafat. Persoalan yang dikemukakan dan pertanyaan yang diajukan
merupakan abstraksi moral yang bersumber dari
upaya untuk memberi arti dan makna bagi kehidupan individu dan
masyrakat. Dengan demikian, ada tujuan lebih pasti dan lebih agung yang hendak
diraih kendali harus melewati perjuangan yang tak kunjung selesai.
Dalam filsafat politik modern, pokok
persoalan yang utama ialah individu dan hak-hak yang dimilikinya. Itu terlihat
jelas lewat tema-tema pembahas filsafat politik masa kini yang berkisar pada
soal kebebasan, kekuasaan, otoritas, hak-hak asasi manusia, demokrasi hak dan
kewajiban, keadilan dan sebagainya.
Apakah perbedaan antara ilmu politik dan
filsafat ilmu politik? Memang dewasa ini banyak orang yang mempertanyakannya.
Perbedaannya ialah ilmu politik bersifat deskriptif , bersangkut paut dengan
fakta, sedangkan filsafat politik bersifat normatif bersangkut paut dengan
nilai-nilai justru itu pulalah yang menjadi ciri khas tentang berbagai disiplin
ilmu.
FILSAFAT HUKUM
Apa
bila simak karya-karya para filsuf yunani purba, teristimewa karya-karya plato
dan Aristoteles, akan terlihat dengan jelas bahwa filsafat hukum merupakan
bagian filsafat politik. Akan tetapi, dewasa ini filsafat hukum telah menjadi
bagian filsafat yang berdiri sendiri.
Filsafat
hukum berbeda dengan ilmu hukum.Filsafat
hukum bersifat universal karena mempersoalkan hukum yang bersifat umum.
Filsafat umum tidak membicarakan hukum di indonesia, atau hukum di Amerika
serikat, melainkan hukum itu an sich. Adapun ilmu hukum mempelajari isi
perundang-undangan yang berlaku di indonesia, diperancis, di Amerika Serikat,
dan sebagainya.
Filsafat
hukum adalah refleksi Filsafati mengenai masalah-masalah hukum. Yang
dipersoalkan ialah apakah sebenarnya hukum itu; apakah fungsi hukum; apakah
tujuan hukum; apakah keadilan itu; mengapa manusia harus takluk pada hukum.
Plato
membahas hukum dan bukunya yang berjudul
republik, politicus, dan The law. Plato mengatakan bahwa hukum hanya merupakan
sebagian dari pengetahuan yang dimiliki oleh penguasa negara, yaitu sang
filsuf-raja. Karena itu, sang filsuf-raja
tidak tunduk kepada hukum.Hukum bisa berarti baik bagi yang diperintah,
sejauh ia dinilai baik oleh sang-raja.
Karena Filsuf-raja selaku penguasa adalah orang paling arif, yang memiliki
moralitas dan pengetahuan yang sempurna, maka warga negara tidak perlu merasa
khawatir bahwa pada suatu saat sang filsuf-raja akan menyalah gunakan terhadap
hukum. Sikap plato yang demikian itu merupakan akibat logis dari keyakinannya
yang menempatkan pengetahuan di atas segala-galanya. Ini karena apabila
pengetahuan yang dinobatkan menjadi “yang mulia”, segala sesuatu yang
lain-termasuk hukum-harus berada dibawahnya.
Akan
tetapi, kemudian plato menyadari bahwa ternyata sangat sulit mencari orang yang
benar-benar arif dan memiliki ilmu pengetahuan yang sempurna. Oleh sebab itu,
dalam bukunya yang berjudul polotikus dan the Laws, plato mengungkapkan betapa
perlunya menegakkan hukum dan membuat undang-undang. Dengan kata lain, para
penguasa harus memerintah dengan hukum dan berdasarkan undang-undang.
Itu
tidak berarti bahwa plato mendewakan dan mengagungkaan hukum. Ia mengatakan
bahwa undang-undang dibuat demi kebutuhan praktis, namun undang-undang tidak
boleh mengikat, membelenggu, dan membatasi gerak seorang negarawan sejati untuk
mengubah, menambah atau membatalkan semua undang-undang yang telah usang.
Selanjutnya,
plato berpendapat bahwa hukum dan undang-undang bukan semata-mata dimaksudkan
utuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitass negara, melainkan untuk
menolong warga negara mencapai keutamaan atau kebajikan pokok sehingga
benar-benar layak menjadi warga negara ideal.
Aristiteles
berpendapat bahwa hukum adalah sumber kekuasaan dalam negara. Hanya apabila
hukum yang menjadi sumber kekuasaan,
barulah pemerintahan para penguasa akan terarah untuk kepentingan, kebaikan,
dan kesejahteraan umum. Hukum sebagai sumber kekuasaan harus memiliki
kewibawaan dan kedaulatan tertinggi dalam negara. Bagi Aristoteles, hukumlah
yang seharusnya memeiliki kedaulatan tertinggi bukan manusia, karena bagaimana
pun arifnya para penguasa itu tidak mungkin mereka dapat menggantikan kedudukan
hukum.
Aristoteles
adalah filsuf pertama yang membedakan antara hukum kebiasaan (customary laws)
dan hukum tertulis (writeen laws). Hukum kebiasaan adalah landasan dari segala
pengetahuan dan pengalaman manusia disepanjang masa. Oleh sebab itu, hukum
kebiasaan bersifat abadi, berlaku dengan sendirinya, dan pada dasarnya tidak
berubah-ubah. Adapun hukum tertulis,
seluruhnya dibuat, disusun, dan ditetapkan oleh manusia, maka dapat diubah-ubah
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia.
Menurut
tradisi hukim alam (yang berkembang pada abad pertengahan, tetapi yang berakar
pada ajaran stoisisme dan Aristoteles), hukum harus sesuai dengan alam yang
universal.para fisuf kristen mengatakan bahwa hukum haruslah seirama dengan
hukum ilahi (divine law). Dalam versi sekuler dikatakan bahwa hukum itu
haruslah sejalan dengan natur manusia; bila tidak, hukum itu bukanlah hukum
yang benar.Oleh sebab itu, lahirlah ungkapan yang mengatakan lex iniusta non
est lex.
Pada
masa kini dipersoalkan pula mengenai tanggung jawab sebagai masalah utama dalam
ithical jurisprudence. Dalam keadaan bagaimanakah seseorang bertanggung jawab
atas perbuatan yang melanggar hukum? Sehubungan dengan itu, lahirlah ungkapan
yang mengatakan actus nonfacit reumnisi mens sit rea (suatu perbuatan tidak
membuat seseorang bersalah kecuali pikirannya bersalah).
FILSAFAT AGAMA
Filsafat agama bukanlah
cabang teologi. Oleh karena itu, filsafat agama bukan merupakan pembelaan
filsafat terhadap dogma,, ajaran teologis tertentu, dan keyakinan religius.Filsafat
agama adalah cabang filsafat yang baru muncul sekitar abad ke-18.
Fisafat agama sering
juga dikacaukan dengan teologi natural, istilah yang telah dikenal sejak abad
pertengahan, namun permasalahannya telah dipersoalkan sejak zaman yunani purba.
Teologi natural adalah supaya rasional untuk menjawab pertanyaan tentang Allah:
apakah Allah benar-benar ada? Jika benar
ada, bagaimanakah keberadaannya?
Bagaimanakah sifat-sifatnya dan bagaimanakah hubungannya dengan manusia
alam? Sebagai contoh, Xenophanes (570-475 SM) mengatakan bahwa Allah itu satu
adanya.Allah tidak diciptakan, tidak bergerak, tidak berubah. Ia mengisi
seluruh alam; ia mendengar semua, melihat semua, dan memimpin alam dengan
kekuatan pikirannya. Aristoteles mengatakan bahwa Allah adalah substansi yang
sempurna. Allah itu bersifat imaterial. Ia adalah penggerak pertama, dan
sebagai penggerak pertama Ia adalah penggerak yang tak digerakan. Dengan
demikian, teologi natural dapat dikatakan sebagai puncak metafisika.
Filsafat agama
sebenarnya berarti pemikiran filsafati tentang agama, dapat pula dikatakan
bahwa filsafat agama adalah pemikiran kritis analitis tentang agama. Yang
hendak dianalisis oleh filsafat agama ialah hakikat agama itu sendiri, yakni
pengalaman-pengalaman religius manusia. dengan demikian, jelas terlihat bahwa
filsafat agama tidak menganalisis isi kepercayaan iman. Melainkan
mempertanyakan apakah hakikat iman an sich. Selain itu, filsafatama juga
menganalisis dan berupa menjelaskan fenomena agama, terutama hakikat hubungan manusia
dengan Allah.
Apakah hakikat agama?
Agama adalah suatu keyakinan akan adanya suatu kenyataan trans-empiris, yang
begitu mempengaruhi dan menentukan, sekaligus juga membentuk dan menjadi dasar
tingkah laku manusia. Oleh sebab itu, agama juga merupakan suatu misteri yang
tak terpecahkan oleh akal budi manusia.
Pengalaman religuis
adalah suatu hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan. Hubungan itu
menggoncangkan, tetapi juga memberi kedamaian. R. Otto mengatakan bahwa
hubungan manusia dengan yang kudus (Numen) membuat manusia gemetar, segan, dan
takut itu juga membuat manusia tertarik dan terdorong untuk menyatu diri
dengan-Nya.
Pengalaman manusia dalam hubungan dengan Tuhan
sangat berbeda dengan pengalaman biasa.Hubungan dengan Tuhan mendorong manusia
untuk mengamil sikap tertentu, antara lain senantiasa berkomunikasi dengan-Nya
lewat doa dan pujian, beriman, menyerahkan diri, taat, mengasihi, dan
bergantung kepadaNya.
Filsafat
Pendidikan
Dalam
arti yang sangat luas, dapatlah dikatakan bahwa filsafat pendidikan sebagai
pemikiran-pemikiran Filsafati tentang pendidikan. Ada yang mengatakan bahwa
filsafat Pendidikan ialah filsafat tentang proses pendidikan, dan ada pula yang
mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan
(the philosophy of the dicipline of education).
Filsafat
tentang proses pendidikan bersangkut-paut dengan cita-cita, bentuk metode atau
hasil dari proses opendidikan. Adapun filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan
bersifat metadisipliner, dalam arti bersangkut paut dengan konsep-konsep,
ide-ide, dan metode-metode disiplin ilmu pendidikan. secara histiris, filsafat
pendidikan yang dikembangkan oleh para filsuf, seperti Aristoteles, Agustinus,
dan Locke, adalah filsafat tentang proses pendidikan sebagai-bagian dari sistem
filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik, epistemology, dan
meta fisika yang mereka anut.
Adapun
filsafat pendidikan yang dikembangkan akhir-akhir ini, oleh pengaruh filsafat
analitik, merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan dalam konteks
dasar-dasar pendidikan (foundactions of education) yang dihubungkan dengan
bagian-bagian lain dalam disiplin ilmu pendidikan, yaitu sejarah pendidikan,
psikologi pendidikan, dan sosiologi pendidikan.
Ada beberapa aliran filsafat yang
begitu mempengaruhi perkembangan filsafat pendidikan sampai saat ini. beberapa
aliran yang sangat penting akan dibicarakan secara singkat berikut ini.
Ø Filsafat
analitik, mengetengahkan dan membahas proposisi-proposisi substantif ataupun
persoalan-persoalan faktual dan normatif tentang pendidikan. Filsafat
pendidikan analitik menganalisis serta menguraikan istilah-istilah dan
konsep-konsep pendidikan seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability),
pendidikan (education), dan sebagainya, serta mengancam dan mengklarifikasi
sebagai selogan pendidikan seperti “ajaraan anaak-anak dan bukan mata
pelajaraan” (teach children, not subjects). Alat-alat yang digunakan oleh
filsafat analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan linguistik serta
teknik-teknik analisis yang berbeda antara seorang filsuf dan filsuf lain.
Ø Progresivisme,
berpendapt bahwa pendidikan bukanlah sekedar menstransfer pengetahuan kepada
anak-anak didik, melainkan melatih kemampuan dan keterampilan berfikir dengan
memberi rangsangan yang tepat. John Dewey (tokoh pragmatisme), yang termasuk
dalam golongan progresivisme, menyatakan bahwa sekolah adalah institusi sosial
dan pendidikan itu sendiri adalah suatu proses sosial. Selanjutnya, pendidikan
adaalah proses kehidupan (process of
living), bukan sebagai persiapan untuk masa depan. Pendidikan adalah
proses kehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus lebih
diutamakan, bukan subject-oriented.
Ø Eksistensialisme,
menyatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik
dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial
mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensial mereka. para
pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada
apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh sianak didik, tetapi yang lebih
penting ialah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Para pendidik
eksistensialis menolak pendidikan dengan
sistem indoktrinasi.
Ø Rekonstruksionalisme,
terutama merupakan reformasi sosial yang menghendaki reanisans sivilisasi
moderen. Para pendidik rekonstruksionalisasi melihat bahwa pendidikan dan
reformasi sosial itu sesungguhnya sama. Mereka memandang kurikulum sebagai
“problem-centered”. Pendidikan pun harus menjawab pertanyaan George
S.Count:”Beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru?”
17
Filsafat Sejarah
Pembahasan filsafat sejarah
mengikuti dua alur yang berbeda. Alur pertama berupa untuk memandang proses
sejarah secara menyeluruh, baru kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa
untuk memahami arti dan makna serta tujuan sejarah. Filsafat sejarah yang
mengikuti alur pertama di sebut filsafat sejarah spekulatif. Alur kedua tidak
memandang kepada proses sejarah secara menyeluruh, melainkan justru memikiran
masalah-masalah pokok penyelidikan sjarah itu sendiri, cara dan metode yang
yang digunakan kedua ini disebut filsafat sejarah kristis.
Dalam filsafat sejarah spekulatif,
biasanya ada beberapa pertanyaan yang berupanya dijawab, antara lain: Apakah
hikmat, arti, dan makna sejarah itu? Apakah sebenarnya yang menggerakkan sejarh
itu? Apakah tujuan akhir proses sejarah itu? Tokoh-tokoh filsafat sejarah
spekulatif yang terkenal ialah Giambattista Vico (1668-1744), Johann Gottfried
von Herder (1744-1803), Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Karl Marx
(1818-1883), dan Arnold Joseph Toynbee (1889-1975)
Dasar yang digunakan para filsafat
sejarah spekulatif untuk menafsirkan proses sejarah begitu bervareasi. Ada yang
mendasarkan tafsiran mereka atas dasar pertimbangan emperis, metafisis, dan
juga religius. Karenja dasar yang digunakan berbeda-beda, tentusaja bentuk dan
hasil tafsir merekapun berbeda-beda. Sebagai contoh, Marx berpendapat bahwa
sejarah sesungguhnya mengikuti pola garis lurus tunggal yang terarah pada suatu
tujuan yang dapat diketahui sebelumnya. Bagi Toynbee, sejarah merupakan suatu
siklus perubahan tetap yang senantiasa berulang.
Hal-hal yang dipertanyakan pada
filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran dan penalaran menurut
ilmu sejarah, terutama bersifat epistomologis dan konseptual. Epistomologis
adalah suatu kajian yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur dan metode
pengetahuan, sedangkan konseptual adalah proses penyampaian dan penerimaan
informasi dari pihak penyelenggara kegiatan. Pada umumnya pembahasan berkisar
pada dua pokok soal yang penting, yaitu mengenai logisitas eksplanasi sejarah
masa silam. Karena itu, timbullah pertanyaan-pertanyaan: Bagaimanakah sifat
logis eksplanasi peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh sejarahwan? Apakah
narasi sejarah memiliki validitas objektif? Tokoh-tokoh filsafat sejarah kritis
ialah Wilhelm Dilthey (1833-1911), Benedetto Croce (1866-1952), dan Roobin
George Ccollingwood (1889-1943).
FILSAFAT BAHASA
Filsafat
bahasa yang berkembang dewasa ini sering pula disebut sebagai filsafat
analitik. Pelopornya adalaha George Edward Moore (1873-1959), seorang filsuf
Inggris dari Universitas Cmbridge. Filsafat yang dikembangkan oleh Moore
merupakan kritik terhadap non-idealisme, yang katanya membuat
pernyataan-pernyataan filsafat yang tidak mudah dipahami karena tidak
didasarkan pada logika. Menurut Moore, tugas filsafat bukanlah untuk memberikan
eksplanasi dan interpretasi mengenai pengalaman kita, melainkan memberi
penjelasan dan keterangan terhadap konsep atau gagasan terhadap analisis yang
didasarkan pada akal sehat (common sense). Moore berpendapat jalan dengan
bahasa kita yang digunakan sehari-hari. Hal itu justru menunjukan bahwa common
sense telah diabaikan.
Filsuf
yang mengembagkan filsafat analitik lebih lanjut ialah Bertrand Russel
(1872-1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951), keduanya dari Universitas
Cambridge. Ketika studi di Cambridge, Wittgenstein adalah murid Russel, tetapi
dalam filsafat, Russel belajar banyak dari Wittgenstein.
Menurut
Bertran Russel, bahasa yang benar merupakan deskripsi dari suatu realitas.
Dengan menyelidiki unsur-unsur paling kecil dari bahasa, Russel menemukan
gambaran atau fakta-fakta atomis. Ia menyebut bagian-bagian paling kecil dari bahasa
sebagai atom-atom logis. Rangka8ian atom-atom itu membentuk apa yang disebutnya
molekul-molekul logis, yaitu pernyataan-pernyataan sederhana. Russel
berpendapat bahwa filsafat yang benar-benar bercorak ilimiah haruslah
menggunakan bahasa logika, bukan bahasa biasa.
Filsafat
Wittgenstein dibagi dalam dua periode yang masing-masing mempengaruhi filsafat
tertentu. Pemikiran Wittgenstein dalam periode sebelum tahun 1930 (Wittgenstein
I), yang dikenal lewat karya tulisanya yang berjudul Tractus Logico-Philosophicus,
mempengaruhi lingkaran wina dan Neopositivisme di Inggris. Pemikiran
Wittgenstein sesudah tahun 1930 (Witgenstein II), yang dikenal lewat karya
tulisanya yang berjudul Philosophical Investigations, yang mernjadi titik awal
analitika bahasa.
Wittgenstein
I menegaskan bahwa pernyataan-pernyataan deskriptif yang memilkii arti. Bahasa
haruslah merupakan suatu deskripsi atau gambaran yang jelas dari sebuah
realitas; bila tidak, ia sama sekali tidak mempunyai arti.
Wittgenstein
II menyatakan bahwa arti suatu pernyataan tergantung pada jenis bahasa yang
dugunakan. Ada beberapa jenis bahyasa yang dug unakan memilki logika dan
kebenaran tersendiri. Dalam philosophical Investigations,
Wittgensteinmenjelaskan konsepnya tentang permainan bahasa (language games).
Permainann bahasa adalah suatu proses pemakaian kata, termasuk pula pemakaian
bahasa yang sederhana. Setiap bentuk permainan bahasa memilki ketentuan dann
aturan tersendiri yang tidak boleh dicampuradukan agar tidak menimlkan
kekacauan. Dengan, demikian, jelas terlihat bahwa tidak mungkin ada ketentuan
dan peraturan umum yang dapat mengatur seluruh bentuk permainan bahasa. Jelas
pula dalam arti sebuah kata tergantung pada pemakaiannya kalimat. Adapun dalam
arti kalimat tergantung pada pemakaian dalam bahasa.
FILSAFAT MATEMATIKA
Sejak
sekitar Milenia ke-5 dan ke-3 SM, matematika telah dikenal di Mesir dan
Babilonia sebagai suatu alat yang sangat berguna untuk memecahkan ber4bagai
persoalan dan masalah praktis. Sebagai contoh, banjir tahunan disungai Nil
memaksa orang-orang Mesir purba mengembangkan suatu rumus atau formula yang membantu mereka menetapkan dan menentukan kembali batas-batas
tanah. Rumus-rumus matematika juga digunakan untuk konstruksi, menentukan
kalender, dan perhitungan dalam perniagaan. Akan tetapi, matematika sebagai
ilmu, baru dikembangkan oleh para filsuf Yunani sekitar lima ribu tahun
kemudian. Filsuf-filsuf besar Yunani yang mengembangkan matematika ialah
Phytagoras dan Plato, kendati dapat dikatakan bahwa secara umum filsuf Yunani
purba bukan hanya menguasai matematika, melainkan ikut serta dalam
perkembanganya.
Bagi
Phytagoras, matematika adalah alat yang sangat penting untuk memahami filsafat.
Ia pun menemukan sebuah fakta yang
menunjukan bahwa fenomena yang berbeda dapat diperlihatkan sifat-sifat
sistematis yang identik. Karena itu, ia menyimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut
dapat dilambangkan dalam bilangan dan
dalam keterhubungan angka-angka. Semboyan Phytagoras yang sangat terkenal ialah
Panta Aritmos yang bearti “segala sesuatu adalah bilangan”.
Plato
berpendapat bahwa geometri adalah kunci untuk meraihpengetahuan dan kebenaran
filasati. Menurut Plato, ada suatu “dunia” yang disebutnyas “dunia ide”, yang
dirancang secara matematis. Segala sesuatu yang dapat dipahami lewat indra,
hanyalah sesuatu representasi tidak semurna “dunia ide” tersebut.
Prinsip
pertama dan utama matematika saat itu ialah abstrak karena bagi para filsuf
Yunani yang mengembangkan matematika, kebenaran padahakikatnya hanya bersangkut
paut dengan suatu entenitas permanen dan suatu keterhubungan dan suatu
ketertalian yang tidak berubah-ubah. Dengan demikian, jelas bahwa sejak semula
matematika bukan hanya sebagai alat bagi
pemahaman filsafati, melainkan juga kerupakan bagian daripemikiran filsafati
itu sendiri.
Pada
masa kini filsafat matematika lebih mengeraskan titik tumpunya pada studi
tentang konsep-konsep matematika, hakikat matematika (termasuk ciri-ciri dan
karateristiknya), prinsip-prinsip serta justifikasi prinsip-prinsip yang
digunakan dalam matematika, dan landasan matematika (fondations of
matematichs).
Ada
pula suara yang terdengar dar kalangan para ahli matematika yang mengaharapkan
agar para filsuf dapat berbuat lebih banyak dengan menjadikan filsafat
matematika sebagai penyusun, penghimpun, dan penertib ilmu matematika yang
dianggap telah berkeping-keping dan kacau balau selama berabad-abad.
Metode
dan Filsafat
istilah
metode berasal dari kata Yunani emethodeuo yang berarti mengikuti jejak atau mengusut, menyelidiki dan
meneliti yang berasal dari kata e - methodos dari akar kata e- meta (dengan) dan
- hodos (jalan). Dalam hubungan dengan
suatu upaya yang bersifat ilmiah. Metode berarti cara kerja yang teratur dan
sistematis yang digunakan untuk memahami suatu obyek yang dipermasalahkan, yang
merupakan sasaran dari bidang tertentu.
Metode tidak sekedar menyusun dan
menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang terpisah-pisah , melainkan juga
merupakan alat paling utama dalam proses dan perkembangan ilmu pengetahuan
sejak dari awal suatu penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran
ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan . metode yang tepat dan benar akan
menjamin kebenaran yang diraih.
Oleh karena itu, setiap cabang ilmu
pengetahuan harus mengembangkan metodologi yang sesuai dengan objek studi ilmu
pengetahuan itu sendiri. Ini merupakan suatu keharusan karena sesungguhnya
tidak ada satu metode yang cocok digunakan bagi semua bidang ilmu pengetahuan.
Sehubungan dengan itu, Fuad Hassan dan
Koentjaraningrat memperingatkan :
“ ……bahwa sesuatu metode dipilih dengan mempertimbangkan
kesesuaiannya dengan objek studi; kecenderungan untuk menempuh jalan sebaliknya
(yaitu untuk mencocok-cocokan objek studi dengan metodik yang asal-asal saja)
sesungguhnya keliru. Catatan ini ditambahkan di sini khususnya karena adanya
kecenderungan yang kuat untuk
mengagungkan kuantifikasi terhadap berbagai
gejala yang sesungguhnya sukar diukur.”
Denagn demikian, setiap disiplin ilmu
seyogyanya memiliki metode sendiri. Filsafat pun memiliki metode sendiri, namun
harus segera ditegaskan pula bahwa filsafat sesungguhnya tidak memiliki metode
tunggal yang digunakan oleh semua filsuf sejak zaman purba hingga sekarang ini.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pada bidang filsafat, jumlah filsafat-
demikian pula jumlah metode filsafatnya – adalah sebanyak jumlah filsufnya.
Dengan kata lain, sangat banyak metode filsafat yang digunakan oleh para filsuf
dari dahulu sampai sekarang ini.
Metode-metode filsafat yang dibicarakan
berikut ini adalah metode-metode yang pernah dikembangkan sepanjang sejarah
filsafat, teristimewa yang memiliki pengaruh cukup kuat bagi perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Metode Zeno
Reductio ad Absurdum
Zeno adalah seorang murid Parmenides yang
termahsyur, yang terkenal sebagai filsuf metafisika Barat yang pertama. Zeno
lahir di Elea pada tahun 490 SM. Ia sangat cerdas dan kecerdasannya begitu
mengagumkan banyak orang, termasuk para penguasa, sehingga, sama seperti
gurunya, ia memiliki pengaruh besar dalam kehidupan politik kota Elea. Sejak
usia muda. Ia telah menulis buku-buku yang terkenal, tetapi sayang semuanya
telah hilang. Kemasyurannya bukan hanya diakui oleh Plato, melainkan juga oleh
Aristoteles, murid Plato yang hidup sekitar seratus tahun sesudah Zeno.
Aristoteles mengatakan bahwa dialektika, selaku cabang logika yang
mempersoalkan argumentasi berdasarkan hipotesis yang dikemukakan oleh lawan
bicara, sesungguhnya ditemukan oleh Zeno. Memang Zeno dikenal sebagai seorang
pemikir jenius yang berhasil mengembangkan metode untuk meraih kebenaran,
dengan membuktikan kesalahan premis-premis lawan, yang caranya ialah
mereduksikannya menjadi suatu kontradiksi sehingga konklusinya pun menjadi
mustahil (reduction ad absurdum)
Zeno sependapat dengan Parmenides yang
mengatakan bahwa realitas yang sesungguhnya di alam semesta ini hanya satu.
Untuk mempertahankan monisme dari serangan pluralism, dengan metode reduction
ad absurdum Zeno mengatakan bahwa seandainya ada banyak titik yang terdapat di
antara titik A dan titik B, berarti kita juga harus mengakui adanya suatu
jumlah tak terbatas karena akan senantiasa terdapat titik di antara titik-titik
itu, dan demikian seterusnya. Jika banyaknya titik itu tak terbatas antara A
dan B tidak mungkin dapat terlintasi. Akan tetapi, ternyata bahwa orang dapat
berjalan dari A ke B dapat dilintasi , pastilah jarak A ke B itu tidak
terbatas. Oleh karena itu, hipotesis semula, yang menyatakan bahwa ada banyak
titik yang terdapat diantara titik A dan titik B adalah tidak benar. Jadi,
jelas bahwa pluralitas itu absurd, tidak masuk akal dan mustahil.
Parmenides juga pernah mengatakan bahwa tidak
ada ruang kosong, yang berarti bahwa yang ada tidak berada dalam ada yang lain
karena yang ada senantiasa mengisi seluruh tempat. Untuk membuktikan kebenaran
kata-kata gurunya itu, Zeno mengatakan bahwa seandainya ada ruang kosong yang
lain itu berada pula dalam ruang kosong yang lain lagi dan demikian seterusnya
hingga tak terbatas. Itu berarti bhawa akan senantiasa ada ruang di dalam
ruang. Oleh karena itu, jika dikatakan yang ada berada dalam ada yang lain,
jelaslah bahwa pernyataan itu tidak benar. Yang benar itu tidak mungkin berada
dalam ruang kosong yang lain karena yang ada itu senantiasa mengisi seluruh
tempat sehingga hipotesis yang mengatakan bahwa ruang kosong itu ada merupakan
sesuatu yang absurd.
Parmenides pun pernah mengatakan bahwa jika
ruang kosong itu tidak ada, berarti bahwa gerak pun tidak ada. Ini karena jika
dikatakan bhawa gerak itu ada, berarti bahwa ruang kosong pun harus ada karena
gerak hanya mungkin terjadi apabila ada ruang kosong. Untuk membuktikan
kebenaran ajaran gurunya itu, Zeno mengemukakan empat contoh sebagai berikut.
1.
Dikotomi
paradox.
Zeno mengatakan bahwa apabila ada ruang kosong yang membuat suatu jarak tertentu, sesumgguhnya jarak itu tak terbatas. Jarak itu tak terbatas karena dapat dibagi lagi ke dalam jarak-jarak tertentu yang juga tak terbatas jumlahnya karena jarak-jarak tertentu itu pun masih dapat dibagi lagi ke dalam titik-titik yang tidak ada habisnya. Jika memang ada gerak, pelaku gerak yang hendak menempuh suatu jarak terlebih dahulu harus menempuh setengah jarak dari jarak itu hingga ke titik-titik yang tak terbatas, sehingga tentu saja si pelaku gerak itu takkan pernah sampai di garis akhir dari jarak yang hendak ditempuhnya. Jika demikian, sesungguhnya gerak itu merupakan sesuatu yang absurd.
Zeno mengatakan bahwa apabila ada ruang kosong yang membuat suatu jarak tertentu, sesumgguhnya jarak itu tak terbatas. Jarak itu tak terbatas karena dapat dibagi lagi ke dalam jarak-jarak tertentu yang juga tak terbatas jumlahnya karena jarak-jarak tertentu itu pun masih dapat dibagi lagi ke dalam titik-titik yang tidak ada habisnya. Jika memang ada gerak, pelaku gerak yang hendak menempuh suatu jarak terlebih dahulu harus menempuh setengah jarak dari jarak itu hingga ke titik-titik yang tak terbatas, sehingga tentu saja si pelaku gerak itu takkan pernah sampai di garis akhir dari jarak yang hendak ditempuhnya. Jika demikian, sesungguhnya gerak itu merupakan sesuatu yang absurd.
2. Akhilles si Juara lari.
Apabila Akhilles, si juara lari dalam mitologi Yunani, hendak bertanding lari dengan seekor kura-kura yang ditempatkan dalam jarak tertentu di depan Akhiklles, kendati Akhilles dapat berlari bagaikan kilat, ia tidak akan pernah dapat menyusul, apalagi melewati si kura-kura itu. Kura-kura itu akan senantiasa berada di depan Akhilles. Karena seandainya Akhiles dapat mengayunkan dua puluh langkah ketika kura-kura mengayunkan satu langkah, maka sesudah Akhilles mengayuinkan dua puluh langkah, si kura-kura telah berada satu langkah di depan Akhilles. Jikalau Akhilles terus maju dua puluh langkah lagi, si kura-kura sudah berada seperdua puluh langkah di depan Akhilles dan demikian seterusnya sampai tak terhingga. Jadi, Akhilles tidak akan pernah dapat mengejar kura-kura itu. Dengan demikian, gerak itu merupakan sesuatu yang absurd.
Apabila Akhilles, si juara lari dalam mitologi Yunani, hendak bertanding lari dengan seekor kura-kura yang ditempatkan dalam jarak tertentu di depan Akhiklles, kendati Akhilles dapat berlari bagaikan kilat, ia tidak akan pernah dapat menyusul, apalagi melewati si kura-kura itu. Kura-kura itu akan senantiasa berada di depan Akhilles. Karena seandainya Akhiles dapat mengayunkan dua puluh langkah ketika kura-kura mengayunkan satu langkah, maka sesudah Akhilles mengayuinkan dua puluh langkah, si kura-kura telah berada satu langkah di depan Akhilles. Jikalau Akhilles terus maju dua puluh langkah lagi, si kura-kura sudah berada seperdua puluh langkah di depan Akhilles dan demikian seterusnya sampai tak terhingga. Jadi, Akhilles tidak akan pernah dapat mengejar kura-kura itu. Dengan demikian, gerak itu merupakan sesuatu yang absurd.
3. Anak panah.
Apabila sebuah anak panah dilemparkan dari busurnya, apakah benar anak panah itu bergerak? Yang terjadi ialah bahwa pada setiap saat anak panah itu berada di tempat anak panah itu sedang berada. Di setiap tempat anak panah itu berada, sesungguhnya anak panah itu sedang berhenti dan diam di situ. Jadi, jelas bahwa setiap saat anak panah itu berada dalam keadaan diam. Apakah berdiamnya anak panah di setiap tempat tertentu merupakan suatu gerak? Jika benar demikian, apa yang disebut gerak itu tidak lain daripada rangkaian diam di tempat. Lalu, benarkah yang diam itu bergerak? Oleh karena itu, sesungguhnya gerak merupakan sesuatu yang absurd.
Apabila sebuah anak panah dilemparkan dari busurnya, apakah benar anak panah itu bergerak? Yang terjadi ialah bahwa pada setiap saat anak panah itu berada di tempat anak panah itu sedang berada. Di setiap tempat anak panah itu berada, sesungguhnya anak panah itu sedang berhenti dan diam di situ. Jadi, jelas bahwa setiap saat anak panah itu berada dalam keadaan diam. Apakah berdiamnya anak panah di setiap tempat tertentu merupakan suatu gerak? Jika benar demikian, apa yang disebut gerak itu tidak lain daripada rangkaian diam di tempat. Lalu, benarkah yang diam itu bergerak? Oleh karena itu, sesungguhnya gerak merupakan sesuatu yang absurd.
4. Benda yang bergerak bertentangan.
Kondisi ini terjadi apabila dua benda padat yang sangat kecil memiliki ukuran sama dan bergerak dalam kecepatan sama dengan arah yang saling bertentangan; di samping itu, ada lagi benda yang sama berada dalam keadaan diam. Kedua benda yang bergerak itu akan saling berpapasan dalam waktu yang lebih singkat daripada unit waktu minimum tersebut. Akan tetapi, kedua-duanya merupakan unit waktu yang minimum sehingga dapat disimpulkan bahwa yang setengah sama dengan satu. Oleh sebab itu, gerak adalah sesuatu yang absurd.
Kondisi ini terjadi apabila dua benda padat yang sangat kecil memiliki ukuran sama dan bergerak dalam kecepatan sama dengan arah yang saling bertentangan; di samping itu, ada lagi benda yang sama berada dalam keadaan diam. Kedua benda yang bergerak itu akan saling berpapasan dalam waktu yang lebih singkat daripada unit waktu minimum tersebut. Akan tetapi, kedua-duanya merupakan unit waktu yang minimum sehingga dapat disimpulkan bahwa yang setengah sama dengan satu. Oleh sebab itu, gerak adalah sesuatu yang absurd.
Metode Zeno memberi nilai bagi filsafat
karena memang tidak satupun pernyataan yang melahirkan pertentangan dapat
dianggap benar. Hukum tiada pertentangannon (the law of contradiction) merupakan salah satu prinsip fundamental
dalam logika. Metode yang dikembangkan oleh Zeno sangat berguna dalam suatu
perdebatan karena dengan metode itu ia telah memberi dasar yang kokoh bagi
argumentasi-argumentasi yang rasional dan logis. Zeno juga dikenal sebagai
orang pertama yang menggunakan metode dialektik, dalam arti mencari kebenaran
lewat perdebatan atau bersoal jawab secara sistematis.
22
Metode sokrates:
Maieutik
Dialektis Kritis Induktif
Kendati sokrates (470-399 SM) di anggap sebagai salah seorang filsuf besar sepanjang zaman, pada kenyataanya ia tidak pernah menulis sesuatu apapun juga sehingga tidak seorang pun dapat memaparkan sokrater berdasarkan hasil karya tulisnya sendiri. sokrates hanya di kenal lewat berbabagai karya tulis murid-muridnya, yakni Aristophanes, Xenophon, plalo dan karya tulis murid plato, Aristoteles. Ajaran-ajaran dan pandangan Sokrates yang di tampilkan oleh keempat orang, itupun tak begitu jelas dan tidak lengkap.
Ada beberapa ahli yang menerapkan bahwa
tulisan-tulisan Xenophon tentang tes dapat di jadikan sumber informsi utama,
namun ada juga yang mengatakan bahwa tilisan-tulisan plato dan Aristoteles
adalah sumber utama yang paling dapat di
andalkan untuk mengenal sokrates . saat
ini pada umumnya para ahli menggunakan keempat sumber yang tersedia itu, namun ada kesepakatan
bersama yang menunjukkan bahwa pemikiran-pemikiran sokrates hampir lengkap di
temukan lewat berbagai karya tulis Plato, teristimewa dalam dialog-dialog,yang
pertama, yang di sebut sebagai di alog-dialog
Sokratis, dari di alog-di alog tersebut memang harus di akui bahwa
betapa sulitnya membedakan namayang merupakan gagasan pemikiran Sokrates
sulitnya membedakan mana yang merupakan gagasan
dan pemikiran Plato. yang jelas adalah Plato yang begitu mengagumi Sokrates.
hendak mengabadikan gurunya itu lewat di alog-dialognya sehingga lewat
dialog-dialognya yang pertama Plato berupaya menampilkan Sokrates. baru
kemudian dalam di alog-dialog yang di tulisnya pada usia yang lebih lanjut,
Plato mulai memgembangkan gagasan dan pemikirannya sendiri.
Lewat
berbagai karya berbagai karya tulis
Plato, yang terlihat jelas ialah pemikiran-pemikiran Sokrates berpusat kepada
manusia. Dengan kata lain, manusaia
menjadi titik perhatian paling utama dalam filsafat Sokrates.. sambil
menempatkan manusia di pusat filsafatnya. Sokrates berangkat dari kehidupan
sehari-hari yang konkret. dari kehidupan
itu sokrates berupaya mengapai kebenaran
objetif. Sokrates menolak subjektivisme dan relativisme dari kaum sofis yang menyebabkan timbulnya skeptisisme. bagi Sokrates
kebenaran objektif yang hendak di gapai bukanlah semata-mata untuk membajikan
karena, menurut Sokrates, filsafat adalah upaya untuk mencapai kebajikan.
kebajikan itu harus tampak lewat tingkah laku manusia yang pantas, yang baik
dan terpuji. kebajikan mengantar manusia kegerbang kebahagiaan sejati. secara
ringkas dapat di katakan bahwa barang siapa mengetahui dan oleh sebab itu
memiliki kebenaran objektif dan bertingkah laku sesuai dengan kebenaran
objektif itu, merekalah yang dapat mengecap kebahagiaan sesungguhnya.
Untuk mengapai kebenaran objektif
itu,Sokrates menggunakan suatu metode
yang di landaskan pada suatu keyakinan yang amat erat di gengamnya.
Sokrates begitu yakin bahwa pengetahuan akan kebenaran objektif itu tersimpan
dalam setiap jiwa seseorang sejak masa praeksistensinya. karena itu,
Sokrates tidak pernah mengajar tentang
kebenaran itu, melainkan berupaya menolong untuk mengungkapkan apa yang memang
ada dan tersimpan di dalam jiwa seseorang. Sokrates mengatakan bahwa seperti
apa yang di lakukan oleh ibunya., yang seringa menolong orang melahirkan (
ibunya seorang bidan ), demikainlah pula yang di lakukannya. ia menolong orang
untuk melahirkan pengetahuan akan kebenaran yang di kandung oleh jiwanya.
Sokrates merasa terpanggil untuk melakukan tugas yang mirip. dengan tugas
ibunya, maka cara yang di gunakanpun di sebutnya maieutika tekhne ( teknik kebidanan ).
Sokrates mempraktekan teknik
kebidanan itu lewat percakapan. Sokrates senantiasa menggunakan setiap kesempatan untuk berdialog
dengan siapa saja yang berjumpa dengan dia. lewat percakapan dengan demikian
itulah ia melihat dengan jelas adanya kebenaran- kebenaran individual yang
ternyata bersifat universal. dengan demikian, ia telah memperkokoh dasar
berfikir induktif yang kemudian akan di
kembangkan oleh para pemikir lainnya.
Dalam dialog-dialog yang di
lakukannya, Sokrates melibatkan diri secara aktif dengan menggunakan argumentasi
rasional yang di dukung oleh anilisis yang cermat tentang apa saja., dalam
menunjukan perbedaan, pertentangan, penolakan, menyaring, membersihkan, serta
menjelaskan keyakianan dan pendapat demi lahirny kebenaran objektif. lewat
dialog-dialog kritis serupa itulah, Sokrates berupaya menggiring orang untuk
menemukan kebenaran yang sesungguhnya.
Karena Sokrates selalu mengajak
orang untuk bercakap-cakap, metode yang digunakannya itu disebut metode
dialektik. istilah dialektika berasal dari kata kerja Yunani dialegesthai, yang berati bercakap-cakap
. kata dialegtik dalam ungkapan “metode
intergorasi” ( interrogation method ). kendati metode dialektik bukanlah
ciptaan Sokrates, dapat dikatakan bahwa sokrateslah yang mempraktekan dan menegembangkan
metode tersebut dengan baik.
23
Metode Plato: Deduktif Spekulatif
Transendental
Sebenarnya
dapat dikatakan bahwa metode Sokrates adalah juga metode Plato. Akan tetapi,
cukup banyak ahli yang menganggap bahwa Plato jauh melampaui Sokrates dalam
berfilsafat. Memang, Plato ingin mengabadikan gagasan dan pemikirannya yang
amat di kasihinya, tetapi tidak berati bahwa Plato tidak memiliki gagasan dan
pemikirannya sendiri. yang pasti Sokrates adalah Sokrates, dan Plato adalah
Plato.
Jika Sokrates memusatkan perhatiannya
pada persoalan-persoalan manusia, khususnya masalah-masalah etis, Plato justru
memusatkan perhatiannya pada bidang yang amat luas, yaitu mencakup seluruh ilmu
pengetahuan yang diminatinya itu, eksaktalah bidang ilmu yang memperoleh tempat
istimewa. karena itu tidak heranlah apabila Plato telah ikut serta meletakan
dasar bagi penalaran deduktif yang terlihat jelas lewat argumentasi-argumentasi
deduktif yang cermat dan sistematis.
Pada umumnya para ahli membagi
dialog-dialog Plato kedalam tiga periode:
1.
periode dialog-dialog awal, di sebut sebagai periode penyeledikkan ( inquiry )
2.
periode dialog-dialog pertengahan, di sebut juga sebagai periode spekulasi/
pemikiran ( speculation );
3.
periode dialog-dialog akhir, disebut juga sebagai periode kritisisme,
penilaian, dan aplikasi (criticism, appraisal, and application).
Dalam diaolog-dialog awal, khusunya
Hippias, Gorgias, Protogoras, Euthy demus, Meno ,Minor ,dan Cleittophon, Plato
menyanggah para sofis yang menolak spekulasi, sains, teori etika, dan tradisi.
Dalam diaolog-dialog pertengahan
terlihat berkembang suatu filsafat sistematis. hasil pemikiran-pemikiran yang
begitu absrtak melahirkan teori-teori yang di tuangkan kedalam enam pokok
yaitu;
1.
teori tentang bentuk-bentuk (the theory of forms), yang dikenal juga sebagai
teori tentang ide-ide;
2.
sifat cinta (the method of love)
3.
metode dialektika (the method of dialectic);
4,
bentuk atau ide tentang kebaikan ( the from of good);
5.
sifat jiwa (the nature of soul)
6.
masyarakat ideal (the ideal society)
Memperhatikan
keenam materi teori tersebut diatas, tepatlah apabila di katakan bahwa periode
dialog-dialog pertengahan disebut sebagai periode spekulasi.
Adapun dialog-dialog pada pada
periode merupakan suatu akhir merupakan suatu upaya untuk mengaplikasikan
secara rinci sistem spekulatif yang agung itu (detailed application of the
great speculative system).
inti dan dasar seluruh filsafat Plato ialah
ajaran tentang ide-ide. Plato percaya bahwa ide yang tertangkap oleh pikiran
lebih nyata dari pada objek-objek material yang terlihat oleh mata. keberadaan,
bunga, pahon, burung, manusia dan sebagainya bisa berubah-ubah dan akan
berakhir , adapun ide tentang bunga, pohon, manusia dan sebagainya tidak akan
berubah-ubah dan kekal adanya. karena itu hanya ide yang merupakan realitas
yang sesungguhnya dan abadi. Dunia indrawi adalah suatu realitas yang tidak
tetap dan berubah-ubah, dan itulah yang dialami oleh manusia hic et
nunc . Adapun dunia ide adalah suatu realitas yang tidak bisa dilihat,
dirasa dan didengar, dunia yang benar-benar objektif dan berada di luar
pengalaman manusia. apa yang disebut pengetahuan sebenarnya hanya merupakan
ingatan terhadap apa yang telah diketahuinya di dunia ide – konon sebelum
berada di dunia indrawi, manusia pernah berdiam di dunia ide. jelas bahwa dunia
ide tampak, dan keberadaannya terlepas dari dunia indrawi. karena itu, sistem
pemikiran Plato bersifat transendental. kerena itu pula secara menyeluruh dapat
didikatakan Plato bersifat transendental. karena itu pula, secara menyeluruh
dapat dikatakan bahwa metode filsafat Plato adalah metode deduktif spekulatif trasendental.
Metode Aristoteles: Silogistis Deduktif
Aristoteles
(384-322 SM) mengatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk menarik
kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru. Kedua metode itu di
sebut metode induktif dan deduktif. Induksi (epagogi) ialah cara menarik konklusi yang bersifat umum
dari hal-hal yang khusus. Adapun deduksi
(apodiktik) ialah cara menarik konklusi berdasarkan dua kebenaran yang
pasti dan tidak diragukan, yang bertolak dari sifat umum ke khusus. Induksi
berangkat dari pengamatan dan pengetahuan indrawi yang berdasarkan pengalaman,
sedangkan deduksi sebaliknya terlepas dari pengamatan dan pengetahuan indrawi
yang berdasarkan pengalaman itu.
Sebenarnya,
Aristoteles menerima baik deduksi maupun deduksi. Akan tetapi, karena di kenal
sebagai filsuf Barat pertama yang secara rinci dan sistematis menyusun
ketentuan-ketentuan dalam penalaran deduktif, ia senantiasa dihubungkan dengan
penalaran deduktif.
Baik
deduksi maupun induksi dipaparkan oleh Aristoteles di dalam logika. Tidak dapat disangkal bahwa logika adalah salah satu karya filsafati
besar yang di hasilkan oleh Aristoteles, yang menyebabkan ia sering disebut
sebagai pelopor, penemu, atau bapak logika kendati itu tidak berarti
sebelum Aristoteles belum ada logika.
Sebenarnya,
istilah logika tidak pernah digunakan
oleh Aristoteles. Untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari
proposisi-proposisi yang benar, dipakainya istilah analitika. Adapun untuk meneliti argumentasi-argumentasi yang
bertolak dari proposisi-proposisi yang diragukan kebenarannya, dipakainya
istilah dialektika. Istilah logika
dalam arti sebagaimana yang kita kenal pada masa kini mulai digunakan oleh
Alexander Aphrodisias pada awal abad ke-3 SM.
Inti
logika adalah silogisme, dan silogisme sebagai suatu alat dan mekanisme
penalaran untuk menarik konklusi yang benar berdasarkan premis-premis yang
benar adalah suatu bentuk formal dari
penalaran deduktif. Bagi Aristoteles,
deduksi merupakan metode terbaik
untuk memperoleh konklusi demi meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Itulah
sebabnya mengapa metode Aristoteles
disebut metode silogistis deduktif.
Silogisme
adalah penemuan Aristoteles yang murni dan terbesar dalam logika. Aristoteles
tidak menggunakan silogisme semata-mata untuk menyusun argumentasi-argumentasi
bagi suatu perdebatan, namun terutama sebagai metode dasar bagi pengembangan
suatu bidang ilmu pengetahuan. Karena itu, Aristoteles tidak memasukkan logika
kedalam salah satu kelompok dari ketiga kelompok menurut pembagian ilmu
pengetahuan yang di susunnya.
Silogisme,
sebagai bentuk formal dari deduksi, terdiri atas tiga proposisi. Proposisi pertama
dan proposisi kedua disebut premis, sedangkan proposisi ketiga merupakan
konklusi yang ditarik dari proposisi pertama dengan bantuan proposisi kedua.
Jadi, setiap silogisme terdiri atas dua premis dan satu konklusi. Tiap-tiap
proposisi itu harus memiliki dua term. Jadi, setiap silogisme haruslah memiliki
enam term. Akan tetapi, karena setiap term dalam satu silogisme senantiasa
disebut dua kali, sebenarnya dalam setiap silogisme hanya ada tiga term.
Apabila proposisi yang ketiga, yaitu proposisi yang di sebut konklusi,
diperhatikan dengan saksama, pada proposisi ketiga itu terdapat dua term dari
ketiga term yang di sebut tadi. Yang menjadi subyek konklusi disebut term
minor, dan yang menjadi predikat konklusi disebut term mayor. Term yang terdapat pada kedua proposisi di
sebut term tengah (terminus medius).
Berikut
ini sebuah contoh silogisme:
Semua anjing
adalah hewan berkaki empat. (umum/universal)
Si hitam adalah seekor anjing. Khusus/partikular)
Si hitam adalah hewan berkaki
empat.
Pola
kerja yang ditempuh dalam penalaran silogistis-deduktif adalah sebagai berikut.
Pertama-tama, ditetapkan suatu kebenaran universal dan kemudian menjabarkannya
pada hal-hal yang kusus. Dengan kata lain, sesudah suatu ketentuan umum yang
ditetapkan, barulah kemudian berdasarkan ketentuan umum itu ditarik kesimpulan
yang bersifat khusus atas kasus tertentu.
Immanuel Kant
mengatakan bahwa logika yang diciptakan oleh Aristoteles sejak semula tidak
begitu sempurna sehingga tidak mungkin bertambah sedikit pun. Kendti demikian ,
perlu juga diperhatikan kecaman Betrand Russell yang menyatakan:
“Aristoteles bersikeras
mengatakan bahwa wanita mempunyai gigi yang lebih sedikit daripada pria,
padahal kendati dia pernah dua kali kawin, tidak pernah terlintas dalam
benaknya untuk menguji pendapatnya dengan meneliti mulut istri-istrinya itu.”
Tentu
saja itu tidak berarti mengecilkan jasa Aristoteles yang harus dilakui memang
luar biasa bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Metode Plotinos:
Kontemplatif-Mistis
Plotinos
(205-270) adalah seorang filsuf Neoplatonis.
Bahkan sesungguhnya Plotinoslah yang mendirikan neoplatonisme dan sekaligus
merupakan tokoh pemikir neoplatonisme yang terbesar. Plotinos lahir di Mesir
dan sejak tahun 231 sampai 242 belajar filsafat pada Ammonius Sakkas. Kemudian,
pada tahun 245 Plotinos mulai mengajar filsafat diRoma sampai pada tahun 268.
Karya-karyanya ditulis sejak tahun 253 sampai 270, yang meliputi semua cabang
filsafat kecuali politik. Karya-karya tulisnya itu kemudian diterbitkan oleh
muridnya, Porphyrios, yang menyusunnya menjadi enam buah buku, dan setiap buku
terdiri dari sembilan bab. Oleh sebab itu, bentuk yang digunakan Porphyrios
untuk menerbitkan karya tulis gurunya disebut Enneades (enna=9)
Filsafat
Plotinos didasarkan pada ajaran Plato, khususnya mengenai ide kebaikan selaku
ide yang tertinggi dalam dunia ide Plato, yang juga menjadi sumber dan dasar
segala ide yang lain. Karena Plotinos menggunakan istilah-istilah dan
mengembangkan dasar-dasar pemikiran Plato, filsafat Plotinos disebt
neoplatonisme. Akan tetapi, tidak berarti Plotinos hanya mengenal filsafat
Plato. Plotinos telah mempelajari seluruh filsafat yang sudah ada dan yang
sedang berkembang pada masa itu, bahkan sesungguhnya filsafat Plotinos
merupakan sintesis dari semua fisafat yang mendahuluinya kendati memang
terlihat dengan jelas bahwa pengaruh Platonisme sangat dominan.
Ide
kebaikan atau yang sangat baik, selaku ide tertinggi bagi Plato, oleh Plotinos di
sebut to
en ( to hen)
(yang esa/the one). Yang esa itu ialah yang awal atau yang pertama,
yang paling baik, yang paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa itu
tidak dapat dikenal oleh manusia karena ia tidak dapat dibandingkan atau
disamakan dengan apa pun juga. Yang esa itu adalah pusat daya dan pusat kekuatan.
Seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat suatu proses mengalir keluar atau pancaran.
Proses mengalir keluar atau pancaran itu disebut emanasi. To hen itu bagaikan matahari yang memancarkan sinarnya, dan pemancaran
sinar itulah yang serupa dengan proses emanasi. Kendati telah terjadi proses
emanasi, yang esa itu tidak pernah
berkurang atau berubah. Yang esa itu
tidak pernah terpengaruh oleh proses emanasi.
Menurut
Plotinos, dalam proses emanasi yang pertama mengalir keluar dari yang esa itu ialah nouj (nous). Nous sangat sulit diterjemahkan.
Ada yang menerjemahkannya dengan budi,
ada pula yang menyebutnya akal, dan
ada juga yang menyebutnya roh. Nous itu berada paling dekat dengan to hen. Nous merupakan gambaran atau bayang-bayang dari to hen.
Kemudian,
dari nous mengalir keluar sesuatu
yang oleh Plotinos disebut psykhe
atau jiwa. Psykhe merupakan sesuatu yang memiliki tingkat lebih rendah daripada
nous. Psykhe berada diperbatasan
antara nous dan materi. Oleh sebab itu, dapat juga dikatakan bahwa psykhe merupakan penghubung antara nous yang terang dan materi yang gelap., atau penghubung
antara roh dan materi sehingga dapat pula dikatakan bahwa psykhe adalah penghubung
dan penggabungan antara yang rohani dengan yang jasmani.
Psykhe
kemudian di susun oleh me on
(materi/zat) sebagai pengaliran lingkaran ketiga. Akan tetapi, menurut
Plotinos, me on itu hanya merupakan suatu potensi
atau suatu kemungkinan bagi
perwujudan suatu keberadaan dalam suatu bentuk. Kemudian, psykhe manusia bertemu dengan materi, lalu melahirkan suatu tubuh,
yang pada hakikatnya berlawanan
dengan nous dan dengan to hen.
Tentu
saja hal itu merupakan penyimpanan dari yang semestinya. Penyimpangan dari yang
semestinya itu berarti penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran,
manusia harus kembali ke to hen dan menyatu dengannya. Itulah yang harus
menjadi tujuan hidup manusia. Jika oleh proses emanasi, manusia meninggalkan terang yang mutlak dan masuk kedalam kegelapan yang mutlak, maka untuk mencapai kebebaran manusia harus
menempuh jalan sebaliknya, yaitu meninggalkan kegelapan yang mutlak, lalu berjalan menuju terang yang mutlak.
Bagi
Plotinos, kesatuan mistis dengan to hen
merupakan kebenaran sejati. Agar kesatuan mistis itu dapat terwujud, manusia
harus berani berfikir tanpa berorientasi pada hal-hal indrawi. Manusia harus
berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang indrawi yang merupakan penghambat
dalam upaya pembebasan dari keterikatan dengan materi yang gelap. Lewat
kontemplasi, jiwa manusia akan semakin dibersihkan, dan itu merupakan prasyarat
bagi tercapainya kesatuan mistis dengan to
hen.
Filsafat
Plotinos merupakan suatu sistem yang hendak menjelaskan asal mula dan tujuan
seluruh realitas, termasuk manusia. Oleh sebab itu, filsafatnya bukan hanya
merupakan suatu doktrin, melainkan juga merupakan suatu way of life. Filsafat Plotinos merupakan jalan pembebasan dari
keterikatan dengan materi yang merupakan penyimpangan dan kebenaran, menuju
kesatuan mistis dengan to hen yang
adalah kebaikan dan kebenaran mutlak, lewat kontemplasi. Karena itu, metode
Plotinos disebut metode kontemplatif
mistis.
26
Metode
Descartes
Skeptis
Rene Descartes (1596-1650) adalah
seorang ahli matematika, saintis dan filsuf Prancis yang terkenal sebagai tokoh
besar dalam filsafat modern dan sebagai peletak dasar rasionalisme. Rene
Descartes (dalam bahasa Latin: Renatus Cartesius) lahir di La Haye, Prancis
pada tanggal 31 maret 1596. Semula ia belajar di La Jesuit College. Di situ ia
belajar filsafat yang didasarkan pada pemikran-pemikiran Francisco Suarez, yang
akhirnya tidak di sukainya. Sesudah menyelesaikan pendidikannya di La Pleche,
ia melanjutkan studi di bidang hukum pada tahun 1616.
Dalam bidang matematika, Descartes
sangat terkenal karena berhasil mengembangkan geometris analitis (analitycal
geometri). Sejak zaman Yunani purba, matematika telah terbagi ke dalam dua
bagian yang begitu terpisah satu sama lain yaitu aritmatika, yang mempelajari
kwantitas yang berbeda dan dinyatakan lewat angka-angka, dan geometri, yang
mempelajari kuantitas bersikenambungan yang di nyatakan lewat garis-garis dan
bilangan. Descartes memadukan keduanya dengan menggunakan rumus-rumus aljabar
yang kemudian di kenal sebagai Cartesian Coordinates (Koordinat Kartesian.
Pengembaraannya di bidang filsafat
diawalanya dengan suatu kebingungan. Filsafat dianggapnya begitu simpang siur
dan penuh dengan pertentangan antara berbagai aliran pemikiran dengan metodenya
masing-masing, tidak sistematis, dan menghambat ilmu pengetahuan. Oleh sebab
itu, ia merasa terpanggil untuk menyusun suatu ilmu induk untuk mengatasi
seluruh ilmu pengetahuan dengan suatu yang bersifat umum dan cocok digunakan di
segala bidang ilmu, baik sains maupun filsafat. Bagi Descartes, logika
Aristoteles tidak bermanfaat karena lewat logika yang demikian itu tidak akan
tercapai suatu pengetahuan baru padahal justru pengetahuan baru yang bersifat
universal sangat diperlukan untuk menyingkirkan segala ketidakpastian pemikiran
pada masa itu. Karena itu, Descartes berupaya melepaskan diri dari segala
gagasan filsafati dan ilmu pengetahuan dengan metode baru yang benar-benar
tepat dan berdaya guna.
Karya besar Decartes dalam bidang
filsafat adalah yang tertuang dalam karya tulisnya yang berjudul Discours om
method (1637) dan Meditations (1642). Kedua karya tulisnya itu saling tumpang
tindih, maka seyogianya tidak perlu di pisahkan.
Kedua buku tersebut diawali dengan
penjelasan tentang metode kesangsian Kartesian (the method of Cartesian doubt).
Suatu pengetahuan baru yang didambakan oleh Descartes adalah suatu
pengetahuan yang kebenarannya tidak
dapat diragukan. Pengetahuan yang benar itu haruslah berangkat dari suatu
kepastian. Ini karena, bagi Descartes, di suatu tempat harus ada suatu titik
yang sedikitpun tidak perlu disangsikan lagi. Dari titik itulah segala-galanya
menjadi pasti, dan itulah yang menjadi dasar pengetahuan. Kepastian itu harus
tidak besyarat dan tidak bergantung dari hal-hal yang dipelajari dan dialami
karena segala sesuatu yang dipelajari dan dialami sewaktu-waktu dapat berubah
dan yang berubah-ubah itu tidak pasti. Kebenaran yang sanggup membentuk
pengetahuan baru yang pantas menjadi ilmu induk yang mengatasi seluruh ilmu
pengetahuan haruslah bertitik pangkal pada suatu yang kepastiannya benar-benar
tidak dapat disangsikan.
Untuk memastikan bahwa sesuatu yang
ada benar-benar ada dan bukan hanya khayalan dan impian, maka segala sesuatu
harus disangsikan lebih dahulu. Demikian pula, segala tuntutan tentang
kebenaran yang selama itu telah diterima sebagai kebenatan haruslah diragukan
kebenarannya. Apabila lewat kesangsian yang begitu radikal ada suatu kebenaran
yang sanggup bertahan sehingga tidak mungkin lagi diraguakn lagi kebenarnnya,
maka kebanran itu adalah kebenaran yang pasti, yang harus menjadi kebenaran
filsafat yang pertama dan terutama (primum philosophicum).
Setelah menyangsikan segala
sesuatu, Descartes menemukan bahwa ada satu hal yang tidak dapat diragukan,
yaitu saya yang sedang menyangsikan segala sesuatu, sedang berpikir, dan jika
saya sedang berpikir itu berarti tidak dapat diragukan lagi bahwa saya pasti
ada. Ini karena tidak mungkin yang tidak ada dapat berpikir dan dapat menyangsikan
sesuatu. Karna itu, dengan yakin Descartes berkata “ je pense, donc je suia”
(aku berpikir maka aku ada) yang terkenal dalam terjemahan bahasa Latin: cogito
ergo sum. Bagi Descartes, manusia harus menjadi titik berangkat dari pemikiran
yang pasti itu, rasio harus berperan semaksimal mungkin.
Pada hakikatnya, metode Descartes
sangat rasionalistis. Pertama-tama, dengan analisis konseptual
diidentifikasikan lebih dahulu elemen-elemen sederhana (yang rumit untuk
direduksi menjadi sederhana lebih dahulu). Kemudian, disintesisasikan suatu
pemahaman struktur realistis dengan memahami hubungan-hubungan yang perlu yang
di dalamnya elemen-elemen tersebut harus berdiri satu dengan yang lainnya.
Aplikasi metode ini ialah mendesak ketidakpastian hingga ke batas yang paling
akhir dengan membuat keterangan atau fakta yang menopang keyakinan-keyakinan
yang telah diterima selama itu menjadi sasaran kritik yang paling tidak kenal
kompromi dan menangguhkan setiap pendapat kendati sangat masuk akal tetapi
sedikit banyaknya mengandung sesuatu yang secara rasional meragukan.
Perlu ditegaskan bahwa Descartes
bukanlah penganut skeptisisme yang menyangsikan segala-galanya dan mengatakan
bahwa sesungguhnya apa yang dinamakan pengetahuan itu tidak ada. Kesangsian
Descartes hanyalah kesangsian metodis belaka.
METODE BACON: INDUKTIF
Francis Bacon (1561-1626) adalah
seorang filsuf Inggris yang terkenal sebagai pelopor empirisme Inggris. Ia
lahir pada 22 Januari di York House, Londom. Ayahnya, Lord Nicholas Bacon,
adalah seorang pejabat tinggi Kerajaan Inggris. Pada usia 12 tahun, Francis
Bacon telah belajar di Trinity College, Cambridge University. Setelah
menyelesaiakn pendidikan di Cambridge, ia di angkat menjadi salah seorang staf
kedutaan Inggris di Prancis. Pada usia 23 tahun ia telah diangkat menjadi
anggota parlemen. Pada tahun1618, James I mengangkat Francis Bacon menjadi Lord
Chancellor dan kemudian menjadi Viscount St. Albans.
Karya tulis Bacon yang telah
terkenal ialah The Advancement of Learning, New Atlantis dan Novum Organum.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pandangan-pandangan Bacon bersifat praktis,
konkret dan utilitaris (pratical, concrete and utilitarian). Bagi Bacon, untuk
mengenal sifat-sifat segala sesuatu dibutuhkan penelitian yang empiris.
Pengalamanlah yang menjadi dasar pengetahuan. Pengetahuan sangat penting dan
sangat diperlukan oleh manusia karena hanya dengan pengetahuanlah manusia
sanggup menaklukan alam kodrat. Olah karena itu, ungkapan Plato pengetahuan
adalah kekuasaan ( knowledge is power) menjadi semboyan Bacon.
Pada bagian kedua bukunya yang
berjudul Novum Organum, Bacon berupaya memperbaiki da menyempurnakan konsepsi
mengenai metode-metode ilmiah yang telah dikenal. Bagi Bacon, logika sigolistis
tradisional tidak sanggup menghasilkan penemuan-penemuan empiris. Ia mengatakan
bahwa logika sigolistis tradisional hanya dapat membantu mewujudkan konsekuensi
deduktif dari apa yang sebenarnya telah diketahui. Agar pengetahuan itu
berkembang dan demi memperoleh pengetahuan yang benar-benar berguna, konkret dan
praktis, metode deduktif harus ditinggalkan dan diganti dengan metode induktif.
Bacon berhasil menemukan metode
induksi baru yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Metode induksi
tradisional yang dikenal dengan nama induction by simple enumeration ( induksi
melalui penjumlahan sederhana)tidak dapat di andalkan untuk meraih pengetahuan
yang benar,. Induksi tradisional dapat di lukiskan sebagai berikut:
“
menurut sahibulhikayat, konon ada petugas sensus yang sedang mendaftarkan
nama-nama di suatu desa di Welsh. Orang pertama yang didaftarkannya bernama
William Williams, demikian pula yang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.
Sesudah sekian banyak yang didaftarkan, ia pun berpikir dalam hatinya bahwa
membosankan pekerjaannya karena sudah jelas semua warga desa itu bernama
William Williams. Karena itu, cukup mengjitung jumlah mereka sekalian dan
sesudah itu ia boleh pergi berlibur. Tetapi sayang ia keliru karena ada seorang
di antara mereka yang bernama John Jones.”
Bacon menegaskan bahwa kita tidak
boleh menjadi sama seperti laba-laba yang memintal jaringnya dari apa yang ada
di tubuhnya, atau seperti semut yang semata-mata hanya bias mengumpulkan,
melainkan kita harus seperti lebah yang tahu mengumpulkan tetapi juga bagaimana
menata. Metode sigolistis deduktif digambarkannya dengan laba-laba itu, dan
metode induktif yang telah disempurnakannya sama dengan lebah yang tahu
mengumpul dan menata.
Metode induktif yang dikembangkan
oleh Bacon dapat diuraikan lewat contoh berikut ini:
“Bacon
ingin mengetahui tentang sifat panas yang diduganya merupakan gerakan-gerakan
tidak teratur yang cepat dari bagian-bagian kecil dari suatu benda. Ia lalu
membuat daftar dari benda-benda yang memiliki tingkatan panas berbeda. Lewat
penelitian dan penyelidikan yang saksama terhadap daftar dari masing-masing
kelompok benda itu, ia berupaya menemukan karakteristik yang senantiasa hadir
pada benda-benda panas, karakteristik yang tidak dapat pada benda-benda dingin,
dan yang selalu ada pada benda-benda yang memiliki tingkatan panas yang
berbeda. Dengan demikian, ia berharap akan berhasil menemukan suatu hokum yang
berlaku umum tentang apa yang diselidikinya itu”.
Bacon memang bukan penemu metode
induktif, namun ia berupaya memperbaiki dan menyempurnakan metode itu melalui
pengkombinasian metode indukti tradisional denga eksperimentasi yang cermat
demi meraih kebenaran ilmiah yang konkrit, praktis dan bermanfaat bagi manusia.
Aristoteles sebenarnya telah melakukan penelitian dan observasi dengan metode
induktif, namun kekurangan eksperimentasi. Bacon mengembangkan metode induktif
baru, dengan observasi yang ekstensif dan eksperimen yang sistematis.